Berandalappung.com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang akan kembali menggelar sidang perkara tindak pidana korupsi proyek pengadaan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) PDAM Way Rilau Kota Bandar Lampung pada Jumat (7/2/2025).
Agenda sidang kali ini adalah pembacaan putusan sela atas nota keberatan (eksepsi) terdakwa Daniel Sandjaja.
Terdakwa Daniel Sandjaja, yang perkaranya teregistrasi dengan nomor 8/Pid.Sus-TPK/2025/PN.Tjk, sebelumnya telah mengajukan eksepsi melalui tim kuasa hukumnya dari kantor pengacara Heri Hidayat & Partners pada Kamis (30/1/2025).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam eksepsinya, kuasa hukum menyoroti dua hal utama terkait dakwaan Penuntut Umum.
Keberatan atas Identitas dalam Dakwaan
Poin pertama yang disoroti dalam eksepsi adalah dugaan ketidaktepatan identitas terdakwa dalam dakwaan.
Penuntut Umum mencantumkan bahwa Daniel Sandjaja adalah owner PT. Kartika Ekayasa.
Namun, menurut tim kuasa hukum, hal ini keliru karena dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas, suatu perusahaan memiliki tiga organ utama, yaitu pemegang saham, direksi, dan komisaris.
“Klien kami tidak termasuk dalam ketiga unsur tersebut. Dia bukan pemegang saham, bukan direksi, dan juga bukan komisaris. Memaksakan identitasnya sebagai owner PT. Kartika Ekayasa adalah bentuk pelanggaran terhadap aturan hukum yang berlaku,” ujar tim kuasa hukum.
Keberatan atas Uraian Kerugian Negara
Poin kedua dalam eksepsi berkaitan dengan uraian kerugian negara dalam dakwaan. Penuntut Umum menyebut bahwa negara mengalami kerugian sebesar Rp19,8 miliar, tetapi tidak menjelaskan secara rinci ke mana aliran dana tersebut, siapa yang menikmatinya, atau pihak yang diuntungkan.
“Seharusnya dalam dakwaan diuraikan dengan jelas, cermat, dan lengkap terkait aliran dana dan pihak yang bertanggung jawab atas kerugian negara tersebut,” tambahnya.
Selain itu, kuasa hukum juga mempertanyakan perbedaan signifikan dalam perhitungan kerugian negara.
Berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang beredar di media sebelum kasus ini dilimpahkan ke pengadilan, kerugian negara disebut hanya sekitar Rp2 miliar, dan terdakwa telah mengganti sebagian sebesar Rp500 juta.
Namun, dalam berkas perkara yang diajukan ke persidangan, angka kerugian negara membengkak menjadi Rp19,8 miliar berdasarkan perhitungan akuntan publik.
“Apakah Kejaksaan lebih mempercayai perhitungan akuntan publik dibandingkan hasil audit resmi BPK? Padahal, BPK adalah lembaga negara yang sah dan memiliki wewenang dalam menghitung audit keuangan negara sesuai amanat undang-undang,” tegas kuasa hukum.
Lebih lanjut, kuasa hukum juga mengungkapkan bahwa hasil audit BPK tidak ditemukan dalam berkas perkara yang ada di persidangan. Mereka menduga ada upaya untuk mengaburkan fakta hukum dalam kasus ini.
“Kami akan mengungkap hal ini lebih lanjut apabila sidang berlanjut ke tahap pembuktian,” pungkasnya.
Sidang putusan sela pada Jumat (7/2/2025) akan menentukan apakah majelis hakim menerima atau menolak eksepsi yang diajukan terdakwa.
Jika eksepsi diterima, perkara bisa dihentikan tanpa dilanjutkan ke tahap pembuktian.
Namun, jika ditolak, persidangan akan terus berlanjut dengan agenda pemeriksaan saksi dan alat bukti.