MK Akhiri Pemilu 5 Kotak, Pilkada dan Pemilu Nasional Dipisah Mulai 2029
berandalappung.com—JAKARTA, Mahkamah Konstitusi (MK) resmi memutuskan mengakhiri sistem Pemilu serentak lima kotak yang selama ini menjadi praktik dalam pemilu nasional dan daerah. Dalam putusan penting yang dibacakan pekan ini, MK menyatakan bahwa mulai tahun 2029, pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah harus dipisahkan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Putusan ini lahir dari uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Permohonan diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), yang menyoal efektivitas serta konstitusionalitas skema pemilu serentak yang berlaku sejak 2019.
Dalam pertimbangannya, MK menilai penyelenggaraan pemilu lima kotak yang mencakup pemilihan presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota terlalu membebani pemilih maupun penyelenggara. Kombinasi berbagai tingkat pemilihan dalam satu hari dianggap justru menurunkan kualitas demokrasi dan menyebabkan proses memilih berlangsung terburu-buru.
“Untuk menjamin kualitas hak memilih warga negara, pelaksanaan pemilu harus sederhana dan tidak memberatkan,” tulis MK dalam salinan putusannya.
MK pun menyatakan bahwa pemilu nasional yang meliputi pemilihan presiden, DPR, dan DPD harus dipisahkan dari pemilu daerah yang mencakup DPRD provinsi/kabupaten/kota serta kepala daerah. Kedua gelombang pemilu itu harus diselenggarakan dalam dua tahap, dengan jeda waktu paling sedikit dua tahun dan paling lama dua tahun enam bulan.
Efisiensi dan Kualitas Demokrasi
Putusan MK ini membuka jalan bagi desain pemilu yang lebih efisien dan berorientasi pada pemilih. Selama ini, sistem lima kotak dinilai membuat pemilih kesulitan memahami kandidat dan program, apalagi dengan kertas suara yang kompleks.
Secara teknis, beban logistik dan administratif pada KPU juga meningkat drastis, sementara partai politik harus berjibaku menyusun strategi di semua level hanya dalam waktu sempit. Akibatnya, pemilu rentan pada kesalahan teknis dan lemahnya pengawasan.
“Dengan pemisahan ini, pemilih akan punya ruang lebih luas untuk mempertimbangkan pilihan politiknya. Ini bukan sekadar soal teknis, tapi menyangkut kualitas demokrasi,” kata Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati, dalam keterangannya.
Tantangan Implementasi
Meski dipuji dari sisi prinsip demokrasi, keputusan ini menyisakan pekerjaan rumah besar: desain ulang kalender politik nasional. Pemerintah dan DPR harus menyusun ulang regulasi turunan, menyelaraskan jadwal jabatan eksekutif dan legislatif, hingga menyesuaikan masa kampanye.
Risiko lain adalah meningkatnya frekuensi pemilu, yang dapat memperbesar ongkos politik. Namun MK menegaskan bahwa efisiensi bukan semata soal biaya, tapi juga efektivitas dalam menjamin kualitas hak pilih dan tata kelola pemilu yang lebih beradab.
Dengan putusan ini, Indonesia secara tidak langsung kembali ke model pemilu sebelum 2019 namun dengan skema jeda yang lebih terstruktur. Jika diikuti dengan desain regulasi yang matang, pemilu mendatang bisa menjadi lebih demokratis dan lebih manusiawi.
Kini, bola ada di tangan pembentuk undang-undang dan penyelenggara pemilu untuk menjabarkan putusan MK ke dalam sistem yang bekerja. Tahun 2029 masih jauh, tapi waktu tak pernah cukup jika hanya diisi wacana dan rapat-rapat politik tanpa arah.
Editor : Alex Buay Sako