Bandar Lampung (berandalappung.com) – Di sebuah negeri bernama Nusangara, Pilkada Raya menjadi ajang sakral sekaligus panggung drama yang selalu dinanti.
Tahun itu, panggung politik Nusangara diwarnai oleh rivalitas sengit antara dua kerajaan besar: Kerajaan Banteng dan Kerajaan Garuda.
Kerajaan Banteng, yang selama ini terkenal dengan kekuatan kolektifnya, memiliki simbol seekor banteng yang gagah dengan tanduk tajam.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, di bawah pimpinan Raja Sang Sengkuni, kerajaan itu mulai kehilangan arah.
Kebijakan yang diambil lebih sering beraroma nepotisme daripada meritokrasi.
Warga desa, yang dahulu setia karena dikenang sebagai penjaga kaum kecil, mulai resah.
“Banteng kini hanya sibuk memakan rumput sendiri,” gerutu salah satu petani.
Di sisi lain, Kerajaan Garuda tampil bagaikan burung perkasa yang siap mengepakkan sayap.
Dipimpin oleh Raja Sang Mahardika, kerajaan itu mulai meraih hati rakyat dengan pesan-pesan penuh ambisi.
“Kita akan terbang lebih tinggi dari awan, membawa Nusangara menuju kejayaan!” seru Raja Mahardika dalam setiap kampanye.
Rakyat, yang mulai muak dengan Banteng, tertarik pada janji-janji Garuda, meski mereka tahu janji itu mungkin terlalu indah untuk jadi kenyataan.
Pilkada Raya berlangsung dengan dramatis. Para prajurit Banteng dan Garuda saling berebut dukungan di desa-desa.
Di satu sisi, Banteng mencoba mengingatkan rakyat tentang sejarah perjuangan mereka, tetapi cara mereka menyampaikan pesan terasa angkuh dan penuh paksaan.
Di suatu ketika, Garuda datang membawa karnaval besar, musik, dan pesta makanan. Rakyat lebih suka hiburan ketimbang kisah-kisah lama.
Namun, persaingan ini tidak lepas dari intrik. Raja Sang Sengkuni dari Banteng menggunakan segala cara untuk menjatuhkan Garuda.
Ia menyebarkan desas-desus bahwa Raja Mahardika hanyalah burung yang senang bicara tanpa bukti nyata.
“Mereka hanya bisa terbang di angan-angan, tetapi lupa memberi makan tanah Nusangara!” ujar Sengkuni dengan nada penuh cemoohan.
Di pihak lain, Garuda tak tinggal diam. Mereka mengejek Banteng sebagai kerajaan tua yang hidup dari kejayaan masa lalu.
“Banteng itu lamban, tak bisa berlari kencang. Hanya tahu menanduk, tanpa tahu arah!” seru Sang Mahardika dalam pidatonya yang diiringi sorakan riuh pendukungnya.
Hari pemilihan tiba, dan rakyat Nusangara pun memberikan suara mereka.
Ketika hasilnya diumumkan, Kerajaan Banteng harus menerima kenyataan pahit: mereka tersungkur. Kekalahan ini adalah yang terbesar sepanjang sejarah.
Raja Sang Sengkuni hanya bisa terdiam, sementara para punggawa kerajaan mulai menyalahkan satu sama lain.
Sementara itu, Kerajaan Garuda merayakan kemenangan besar mereka.
Di alun-alun istana, Raja Mahardika berdiri di puncak menara dengan sayapnya terbentang lebar.
“Hari ini adalah kemenangan rakyat Nusangara! Kita terbang tinggi, meninggalkan bayang-bayang masa lalu yang usang!” teriaknya, disambut gemuruh sorakan.
Namun, di balik euforia, beberapa rakyat mulai bertanya-tanya.
“Apakah Garuda benar-benar mampu memenuhi janji-janji mereka? Ataukah kita hanya berpindah dari satu kandang ke sarang yang lain?”
Pertanyaan itu menggantung di udara, seperti Garuda yang terbang tinggi di langit, tak tahu kapan akan mendarat.
Dan begitulah, di Nusangara, cerita Pilkada Raya bukanlah akhir. Ini hanyalah babak baru dari siklus politik yang berputar tanpa henti.
Satu kerajaan tersungkur, kerajaan lain terbang tinggi, tetapi rakyat? Mereka tetap di bawah, menunggu janji-janji yang seringkali tak pernah benar-benar sampai.