Bandar Lampung (berandalappung.com) – Malam itu, bintang-bintang bertebaran di langit, memberikan sedikit penerangan di tengah gelapnya gang Pasar Klewer.
Suasana sepi, hanya terdengar suara serangga malam dan sesekali langkah kaki pembeli yang mencari makanan ringan.
Di sudut gang, Pak Sardi duduk di belakang gerobak esnya. Meskipun hari sudah larut, ia tetap setia menunggu pelanggan yang mungkin lewat.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Es cendol, Pak! Tambah gula merahnya, ya!” seorang pemuda yang baru pulang kerja memesan sambil menyerahkan uang recehan.
“Siap, Nak. Tunggu sebentar,” jawab Pak Sardi dengan suara ramah. Tangannya yang mulai keriput tetap cekatan menuangkan bahan-bahan ke dalam plastik.
Di tengah kesibukannya, datanglah seorang pria dengan jubah panjang dan sorban di kepala.
Orang-orang di sekitar mengenalnya sebagai Gus Rahmat, seorang tokoh agama yang ceramahnya sering viral di media sosial.
Pria itu menghampiri gerobak Pak Sardi dengan langkah mantap, wajahnya terlihat serius.
“Assalamu’alaikum,” sapa Gus Rahmat.
“Wa’alaikumsalam, Gus. Mau pesan es cendol?” tanya Pak Sardi sopan.
Namun, bukannya menjawab, Gus Rahmat justru memandangi gerobak es itu dengan tatapan penuh kritik.
“Pak, apa tidak malu? Sudah tua begini, malam-malam pula, masih jualan es? Tidakkah kau pikir hidupmu sia-sia?”
Pak Sardi tersentak. Kata-kata itu tajam, menusuk hatinya. Beberapa orang yang sedang duduk di warung sekitar terdiam, menunggu reaksi Pak Sardi.
“Saya hanya mencari rezeki, Gus. Inilah jalan hidup saya,” jawabnya pelan, mencoba tetap tenang.
“Rezeki? Kau ini hanya menyusahkan dirimu sendiri! Bukankah lebih baik kau di rumah, istirahat, dan mendekatkan diri pada Tuhan?
Apa kau tidak merasa rendah melakukan pekerjaan seperti ini?”
Pak Sardi menghela napas panjang, menahan sakit di hatinya.
Ia tidak ingin berdebat, apalagi dengan seseorang yang dihormati seperti Gus Rahmat.
Namun, tiba-tiba seorang pria muda yang mengenakan jaket lusuh muncul. Dia adalah Andi, seorang pengusaha yang sering membeli es dari Pak Sardi.
“Gus, saya rasa Anda salah,” kata Andi dengan tenang.
Gus Rahmat mengerutkan dahi. “Salah? Apa maksudmu?”
“Pak Sardi ini bukan hanya penjual es. Dia seorang inspirasi bagi banyak orang, termasuk saya.
Saat kecil, saya sering tidak punya uang untuk membeli es, tapi beliau tetap memberi saya tanpa meminta bayaran.
Itu yang membuat saya sadar, hidup bukan soal siapa yang paling tinggi kedudukannya, tapi siapa yang paling ikhlas berbagi.”
Orang-orang di sekitar mulai mengangguk, setuju dengan ucapan Andi. Gus Rahmat tampak terdiam, seolah merenungkan kata-kata Andi.
“Selain itu, Gus,” lanjut Andi, “tidak ada pekerjaan yang hina jika dilakukan dengan jujur. Nabi Muhammad pun pernah berdagang, dan beliau mengajarkan bahwa mencari nafkah yang halal adalah ibadah.”
Wajah Gus Rahmat perlahan melunak. “Kamu benar, Nak.
Saya tadi terlalu keras berbicara.” Ia berbalik ke arah Pak Sardi. “Pak, saya minta maaf. Ucapan saya tadi sangat tidak pantas.”
Pak Sardi tersenyum hangat. “Tidak apa-apa, Gus. Kita semua belajar setiap hari, termasuk saya. Kalau Gus Rahmat mau, saya persilakan mencoba es cendol saya.”
Gus Rahmat tersenyum kecil dan mengangguk. “Baiklah. Tambahkan gula merahnya banyak, ya.”
Tawa kecil terdengar di antara mereka. Malam itu, dinginnya es cendol menjadi saksi bahwa ketulusan dan kerendahan hati selalu bisa melembutkan hati yang keras, bahkan di bawah gelapnya malam.