Bandar Lampung (berandalappung.com) – Di sebuah kota pesisir yang ramai, bernama Teluk Megah, sampah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.
Jalan-jalan utama dihiasi tumpukan plastik, kardus basah, dan sisa makanan.
Bahkan, aliran sungai yang membelah kota berubah menjadi jalur berkelok yang membawa aroma busuk hingga ke laut.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Di tengah hiruk-pikuk itu, berdiri sebuah patung besar di alun-alun kota. Patung itu menyerupai wajah seseorang dengan ekspresi senyum lebar yang menyiratkan harapan.
Wajah sang pemimpin, yang diukir begitu megah, berdiri di atas landasan yang dikelilingi oleh hamparan sampah.
Ironisnya, patung itu tampak lebih bersih daripada seluruh kota.
Rahmi, seorang pemulung muda, menatap patung itu setiap pagi sambil mengais sisa-sisa kehidupan. Dia tahu, patung itu adalah simbol janji.
Janji perubahan, janji kebersihan, janji kesejahteraan. Namun, janji itu hanya berakhir sebagai slogan di spanduk usang yang berkibar lemah di sudut-sudut jalan.
“Apa gunanya wajah besar itu, kalau kita masih bergulat dengan sampah setiap hari?” Rahmi menggerutu pada dirinya sendiri.
Suatu hari, sebuah berita mengejutkan tersebar. Ada kontes esai lingkungan yang diadakan pemerintah kota, dengan hadiah utama berupa perbaikan lingkungan di tempat tinggal pemenang.
Rahmi, dengan bantuan seorang temannya yang bisa membaca dan menulis, menulis sebuah esai.
Isinya tentang ironi patung besar itu bagaimana ia menjadi simbol harapan yang kosong di tengah kota yang tenggelam dalam limbah.
Esai itu memenangi kontes. Namun, Rahmi tidak merasa bangga. Dia tahu, kontes itu hanyalah pengalihan perhatian, sebuah pencitraan lain untuk menutupi bau busuk yang sesungguhnya.
Benar saja, setelah penyerahan hadiah yang dihadiri pejabat dan media, perhatian pun hilang seperti angin.
Perbaikan yang dijanjikan tak pernah datang. Wajah besar di alun-alun tetap berdiri, menyeringai di atas kota yang tenggelam dalam sampah.
Namun, sesuatu yang berbeda terjadi. Esai Rahmi, yang sempat dimuat di media lokal, menginspirasi banyak warga.
Mereka mulai bergerak sendiri. Komunitas kecil terbentuk, mengadakan aksi bersih-bersih, mengajarkan daur ulang, dan menanam pohon di lahan-lahan kosong.
Di tahun berikutnya, patung besar itu mulai memudar, bukan karena waktu, tetapi karena sesuatu yang lebih berarti.
Tanaman rambat tumbuh menutupi wajah yang dulu megah itu. Warga mulai menyebutnya “Wajah yang Malu”.
Rahmi tersenyum melihat perubahan kecil di kota itu. Dia tahu, Teluk Megah masih jauh dari bersih, tetapi setidaknya, wajah-wajah asli kota itu warga biasa mulai mengalahkan wajah besar di alun-alun.