Tilang, Teguran, atau Ketidakhadiran Negara: Jalan Raya yang Tak Pernah Benar-benar Tertib
berandalappung.com— BANDAR LAMPUNG, sebuah motor matic melintas di depan Pos Polisi Bundaran Gajah. Tak ada plat nomor. Pengendaranya mengenakan helm setengah hati longgar, nyaris lepas. Di jok belakang, anak usia 9 tahun duduk tanpa pelindung kepala. Polisi yang berjaga hanya menatap. Tak ada pluit. Tak ada instruksi berhenti. Di saat bersamaan, dua petugas sibuk menegur pengemudi ojek online yang lupa menyalakan lampu siang hari.
Fenomena ini bukan anekdot. Ini adalah cerminan betapa fungsi polisi lalu lintas di ruang publik sering kali mengambang. Antara hadir dan tidak. Antara penegak hukum dan pemungut denda. Sementara masyarakat? Berkendara seolah aturan hanya berlaku jika ada razia.
Selama empat hari pelaksanaan Operasi Patuh Krakatau 2025, Satuan Lalu Lintas Polresta Bandarlampung menindak 1.314 pelanggar. Rinciannya:
• 87 melalui Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE),
• 501 ditilang langsung,
• 726 hanya ditegur.
Angka tersebut bukan pencapaian. Itu lonceng kegagalan. Tahun lalu, pada periode yang sama, jumlah pelanggar bahkan lebih tinggi: 22.531 di seluruh Lampung.
“Ini bukan soal berapa yang ditilang. Tapi soal kenapa pelanggaran terus terjadi meskipun operasi rutin dilakukan,” ujar Dr. Budiyono, SH, MH, dosen hukum dan pengamat kepatuhan hukum publik dari Universitas Lampung.
Menurutnya, ketertiban lalu lintas tidak akan pernah tumbuh di atas model penegakan hukum yang parsial, musiman, dan cenderung transaksional. “Kalau pendekatannya hanya represif, masyarakat hanya belajar satu hal: bagaimana menghindar, bukan bagaimana tertib,” katanya.
Polisi, Menilang Lebih Mudah daripada Mendidik
Fungsi utama polisi lalu lintas sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri No. 10 Tahun 2012 adalah preemtif, preventif, dan represif. Namun di lapangan, fungsi preemtif yakni edukasi dan pembinaan seringkali hanya jargon dalam dokumen laporan.
“Kapan terakhir kali Anda lihat polisi datang ke sekolah untuk mengajari anak-anak cara menyebrang yang benar?” kata Sopian Jaya, relawan keselamatan jalan dari komunitas Jalan Aman Lampung. “Yang kita lihat cuma razia. Di tikungan, di bawah pohon. Polisi hadir saat menghukum, tapi tidak hadir saat membina.”
Saat tim media berandalappung.com menelusuri area padat lalu lintas seperti Jalan ZA Pagar Alam dan Soekarno-Hatta, tak satu pun terlihat polisi memberi penyuluhan, leaflet, atau edukasi. Yang ada hanya pemberhentian kendaraan dan proses tilang cepat.
Masyarakat, abai karena terbiasa dibiarkan, namun menyalahkan aparat saja tentu tak adil. Banyak masyarakat yang tetap abai meski telah tahu. Berdasarkan data Korlantas Polri, lebih dari 25% pengendara motor di Indonesia belum memiliki SIM, dan sekitar 35% tidak membawa STNK saat berkendara.
“Sudah tahu harus punya SIM, tapi malas bikin. Alasannya repot, mahal, takut ujian,” kata Dedi (29), warga Kedaton, yang mengaku baru mau urus SIM karena baru dua kali ditilang tahun ini.
Data pelanggaran juga menunjukkan jenis pelanggaran paling umum masih itu-itu saja:
• Tidak memakai helm standar (SNI)
• Mengemudi tanpa SIM
• Kendaraan tanpa plat nomor
• Melawan arus
• Knalpot bising
Apa yang salah dari negara? Masalahnya bukan sekadar pada pelanggar, tapi pada model negara yang hanya hadir saat menghukum, bukan saat membentuk kesadaran. Negara tak boleh absen dalam membangun budaya hukum. Sekolah tak mengajarkan etika lalu lintas, media kampanye keselamatan jalan terbatas, dan polisi hanya muncul saat operasi digelar.
“Harus ada pendekatan sistemik. Jangan hanya menindak, tapi juga ajari. Jangan cuma menilang, tapi hadir di tengah masyarakat,” tegas Dr. Budiyono.
Ini adalah bentuk solusi setengah hati, Sistem Poin dan ETLE
Pemerintah telah menerapkan sistem poin tilang sejak awal 2025. Setiap pelanggaran akan mengurangi poin. Jika habis, SIM akan dibekukan. Tapi sayangnya, banyak masyarakat yang belum tahu sistem ini.
“Sosialisasi sangat minim. Saya saja baru tahu ada sistem poin setelah ditilang minggu lalu,” kata Ratih, pengendara asal Sukarame.
Sementara ETLE (tilang elektronik) pun masih terbatas. Di Bandar Lampung, baru terpasang di beberapa titik seperti Jalan Kartini dan Jalan Raden Intan. Sisanya masih mengandalkan razia konvensional yang penuh risiko penyimpangan.
Negara tak bisa selalu menilang, jika negara ingin jalan raya tertib, maka hadirnya polisi tidak cukup hanya saat operasi. Jalan raya membutuhkan kehadiran negara secara utuh dari pendidikan lalu lintas di bangku sekolah, kampanye keselamatan di televisi dan medsos, hingga pendekatan yang manusiawi oleh aparat di lapangan.
Karena penindakan hanya akan menimbulkan ketakutan. Tapi pembinaan akan menumbuhkan kesadaran.
Dan kita butuh lebih banyak yang sadar. Bukan yang sekadar takut.
Editor : Alex Buay Sako