berandalappung.com— Di dunia liar Afrika, di mana hukum rimba tak mengenal belas kasih, hanya sedikit singa yang mampu meninggalkan jejak abadi. Namun, Scarface bukanlah singa biasa—ia adalah legenda hidup dari Maasai Mara, dan kisahnya lebih mirip narasi epik dari mitologi kuno daripada kehidupan seekor hewan di alam bebas.
Lahir pada tahun 2007, Scarface dikenali dari luka mencolok di matanya—sebuah bekas pertempuran yang justru memberinya nama dan mengabadikan sosoknya dalam sejarah. Tapi lebih dari sekadar tampilan yang ikonik, Scarface adalah simbol kekuatan, ketahanan, dan kebijaksanaan brutal khas pemimpin sejati.
Ia membunuh lebih dari 400 hyena, menaklukkan lebih dari 130 singa jantan pesaing, bahkan pernah dilaporkan berhasil mengalahkan seekor kuda nil dewasa dalam duel yang tak masuk akal. Dalam dunia predator, ini bukan hanya pencapaian tapi ini sebuah mitos yang hidup.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Tidak seperti kebanyakan singa jantan yang kekuasaannya hanya bertahan 2–3 tahun sebelum ditumbangkan, Scarface mempertahankan dominasinya hampir satu dekade penuh. Bahkan ketika cedera parah menimpanya di tahun 2012, ia bertahan.
Saat singa-singa muda dari koalisi Salas mencoba mengambil alih, mereka tidak menyerang, seolah mengerti bahwa Scarface bukan lawan sembarangan—dia adalah simbol yang harus dihormati, bukan ditantang.
Dan yang paling mengejutkan dari semuanya? Scarface tak mati dalam pertempuran berdarah, seperti kebanyakan singa jantan. Ia wafat dalam damai, di bawah naungan pohon Afrika, dengan tubuh utuh dan kepala tegak. Sebuah akhir langka dan terhormat yang biasanya hanya dimiliki para raja—dan Scarface memang Raja sejati Maasai Mara.
Warisannya tak hanya hidup dalam foto-foto dokumenter atau kisah para pemandu safari, tapi dalam hati para pencinta alam di seluruh dunia. Scarface bukan hanya seekor singa. Ia adalah legenda, lambang keagungan alam liar, dan bukti bahwa bahkan di antara predator, ada yang lahir untuk menjadi abadi.
Editor : Hengki Padangratu