“Mewahnya Festival Krakatau, Tapi Apa Kabar Radin Inten?”
berandalappung.com — Raja Basa, Festival Krakatau(K-Fest)XXXIV kembali digelar dengan gegap gempita dari tanggal 04 Juli 2025 sampai tanggal 06 Juli 2025. Pemerintah Provinsi Lampung, melalui Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Disparekraf), memajang warna-warni budaya dari 15 kabupaten/kota. Denting gamelan, lenggak lenggok penari, hingga pameran UMKM menyulap panggung menjadi pesta visual.
Namun di balik gemerlap itu, satu hal luput rasa hormat.
Festival yang seharusnya ruang diberikan penghargaan terhadap akar budaya justru tercoreng oleh ketidak adilan yang menyentuh ranah simbolik yakni ketidakhadiran komunikasi yang layak kepada keluarga Pahlawan Nasional Radin Inten II, nama besar yang melekat dalam sejarah perjuangan Lampung.
Sumber menyebutkan, Kepala Disparekraf Lampung, Bobby Irawan, tengah menjadwalkan pertemuan klarifikasi dengan keluarga besar Radin Inten II. Langkah ini muncul setelah munculnya riak mengecewakan yang tak sempat tersuarakan secara formal, namun mengendap di hati sebagian masyarakat yang masih memegang teguh nilai-nilai sejarah.
Ini bukan sekedar salah paham teknis. Ini soal sensitivitas dan etika budaya. Ketika sebuah festival membawa nama besar dan sejarah lokal, maka seharusnya penyelenggara tidak hanya mengurusi panggung megah dan kostum glamor. Pendidikan, komunikasi, dan pelibatan komunitas sejarah adalah bagian yang tak terpisahkan.
Tanpa itu, festival hanya jadi kemasan kosong menjadi megah di luar, hampa di dalam.
Momentum ini seharusnya menjadi ajang refleksi, bukan sekadar perayaan. Festival budaya bukan seremonial proyek, apalagi ajang gagah-gagahan pemerintah daerah. Ini panggung kejujuran budaya. Dan jika diurus dengan mental birokratis tanpa jiwa, ia justru bisa menjadi cermin kegagalan kolektif kita menjaga marwah identitas Lampung.
Kini publik menunggu, apakah Disparekraf hanya akan memperbaiki ini dengan klarifikasi basa-basi? Ataukah adakah upaya sistemik agar penghormatan terhadap tokoh-tokoh sejarah bukan sekadar retorika panggung?
Karena budaya tidak dijaga lewat festival tahunan tapi lewat sikap.
Dan siapa pun yang tinggal di Lampung, tahu betul melukai simbol leluhur bukan hal sepele.
Editor : Alex Buay Sako











