Dari Mafia Tanah ke Mafia Meja Hijau? Jejak Kelam Lahan Kemenag
berandalappung.com— Bandar Lampung, kekalahan demi kekalahan yang dialami Kementerian Agama (Kemenag) Lampung dalam sengketa lahan seluas 17.000 meter persegi di Jalan Soekarno-Hatta, Bandar Lampung, mengundang tanda tanya besar. Empat kali gugatan dari tingkat pertama hingga Peninjauan Kembali (PK) semuanya berujung kekalahan. Pertanyaannya benarkah Kemenag kalah karena lemahnya argumen hukum, atau ada permainan kotor di balik meja hijau?
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Juendi Leksa Utama, Ketua Lampung Corruption Watch (LCW), menyebut kasus ini patut dicurigai sebagai bagian dari pola besar praktik mafia tanah yang bersinergi dengan oknum di lembaga peradilan.
“Empat kali kalah bukan soal sepele. Apalagi nilai lahannya fantastis: mencapai Rp 54 miliar. Ini harus jadi atensi serius Kejati,” kata Juendi.
Ia menggarisbawahi bahwa alat bukti yang dipakai dalam persidangan belum diverifikasi keasliannya oleh pengadilan. Padahal, jika terbukti surat yang digunakan palsu, maka seluruh rangkaian putusan bisa dianulir melalui mekanisme hukum Peninjauan Kembali.
“Kalau sudah ada putusan pidana yang menyatakan suratnya palsu, itu bisa jadi dasar hukum untuk membatalkan semua putusan sebelumnya,” tegasnya.
Juendi juga menyoroti pentingnya membuka tabir kemungkinan keterlibatan oknum hakim dalam kasus ini. Meski proses pemeriksaan terhadap hakim membutuhkan izin Ketua Mahkamah Agung, hal itu bukan sesuatu yang mustahil jika ada indikasi kuat pelanggaran etik maupun pidana.
LCW mendorong Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung untuk turun tangan. Bila ditemukan pelanggaran etik, maka Komisi Yudisial bisa merekomendasikan langkah hukum lebih lanjut. Juendi juga menegaskan agar Kejati Lampung tidak berlama-lama menahan berkas perkara pidana ini.
“Sudah ada tersangka, sudah ada bukti. Mengapa belum dilimpahkan ke pengadilan? Semakin lama ditunda, publik akan curiga perkara ini disandera,” katanya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Kejati Lampung telah menahan mantan Kepala BPN Lampung Selatan, Lukman, yang menerbitkan sertifikat hak milik atas lahan yang sejatinya tercatat milik Kanwil Kemenag Lampung. Selain itu, seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) berinisial TRS juga ikut ditahan. Nama lain yang terseret adalah pengusaha Thio Stefanus alias TS, yang diduga membeli lahan tersebut dengan dasar dokumen bermasalah.
Kini, bola ada di tangan penegak hukum. Kasus ini akan menjadi ujian apakah negara sungguh-sungguh hadir melawan mafia tanah, atau justru kembali jadi penonton di panggung kejahatan yang terorganisir.
Editor : Alex Buay Sako