Kemerdekaan Bukan Hanya Untuk Pers, Tapi Pilar Demokrasi, dan Tanggung Jawab Wartawan
oleh : Hengki Irawan, M.H., C.Med, Dosen STIES ALIFA Pringsewu
berandalappung.com— Kedaton, setiap 17 Agustus kita kembali diingatkan pada kata sakral, merdeka. Namun, apa arti merdeka dalam konteks pers hari ini? Pemahaman dan harus ditegaskan, wajah kemerdekaan sejati seseorang bukan terletak pada sekedar bebas dari sensor, melainkan pada kompetensi.
Wartawan yang berkompeten mampu menulis, merekam, dan menyajikan informasi dalam berbagai bentuk teks, audio, maupun audiovisual tanpa kehilangan akurasi dan integritas.
Sebaliknya, bila wartawan abai pada profesionalisme, kebebasan pers hanya tinggal formalitas belaka. Media pun bisa jatuh derajatnya, dipandang tidak patut diperhatikan, dan pada akhirnya mengikis martabat kemerdekaan itu sendiri.
Landasan hukum kita sebenarnya sudah jelas. UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menegaskan kemerdekaan dengan menghapus izin rezim SIUPP dan membentuk Dewan Pers sebagai penjaga kemerdekaan. Hak tolak, hak jawab, hingga hak koreksi disediakan agar wartawan tidak hanya bebas, tetapi juga bertanggung jawab. UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM menambahkan bahwa kebebasan berekspresi adalah hak kodrati setiap manusia, sedangkan UU No. 14 Tahun 2008 menegaskan bahwa masyarakat berhak mengetahui.
Di titik ini, kita melihat bahwa kemerdekaan pers bukanlah anugerah untuk wartawan semata, melainkan hak rakyat untuk menerima informasi yang benar.
Namun, kebebasan tanpa kualitas justru bisa berbalik menjadi bumerang. Atmakusumah Astraatmadja pernah mengingatkan, banyak wartawan hari ini kurang mendapat pendidikan rasional, terutama dalam bahasa dan logika. Padahal logikanya adalah saringan utama mana informasi yang layak, mana yang hanya ilusi.
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pun menekankan kebutuhan pendidikan di era digital, saat wartawan menuntut multitasking dan menguasai media baru. Dewan Pers melalui Uji Kompetensi Wartawan (UKW) menjadikannya tolok ukur: apakah seseorang pantas disebut wartawan profesional atau sekadar pengabdi algoritma.
Mantan Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, mengingatkan satu hal penting: pendidikan wartawan sejatinya bukan hanya untuk wartawan itu sendiri, melainkan untuk masyarakat. Sebab, wartawanlah yang menyajikan informasi dan kualitas informasi akan menentukan kualitas demokrasi. Bila wartawan tak terdidik dengan baik, publik pun rawan terseret hoaks, disinformasi, bahkan propaganda.
Perspektif publik pun sama tajamnya. Seorang pengguna forum berani menulis: “Click bait yang berlebihan sama saja dengan membohongi pembaca. Itu sudah melalui kode etik jurnalistik.” Sebuah pengingat bahwa kepercayaan masyarakat tidak boleh dijual murah demi lalu lintas setiap saat.
Di dalamnya kita menemukan paradoks kemerdekaan. Di satu sisi, pers bebas oleh hukum. Di sisi lain, kebebasan itu bisa terjerumus menjadi pembohong jika tidak dibatasi oleh kompetensi dan etika. Oleh karena itu, pendidikan bagi pers bukan sekedar tambahan, melainkan kebutuhan yang mendesak. Wartawan yang berpendidikan tinggi, berpikir kritis, dan menguasai etika akan menjadikan kebebasan pers sebagai kekuatan demokrasi.
Wartawan yang abai akan menjadikan kebebasan pers hanya gangguan tanpa makna.
Kemerdekaan pers sejatinya bukan hadiah. Ia adalah tanggung jawab. Dan tanggung jawab itu menuntut lebih dari sekedar keberanian ia menuntut kecerdasan, kedalaman, dan kejujuran. Di pundak wartawanlah, kemerdekaan itu akan terjaga, atau justru tergadai.
Editor : Alex Jefri