Visum Berbayar di RSUDAM, Antara Pergub dan Rasa Keadilan Korban
berandalappung.com— Bandar Lampung, polemik tarif visum di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H. Abdul Moeloek (RSUDAM) kembali menyeruak setelah seorang warga Bandar Lampung mengaku diminta membayar Rp500 ribu untuk proses visum, meski sudah membawa surat resmi dari kepolisian.
Kasus ini mencuat di tengah keprihatinan publik atas masih mahalnya akses keadilan bagi korban kekerasan. Namun pihak rumah sakit menegaskan, pungutan itu bukan kebijakan liar. Semua, kata mereka, berjalan sesuai aturan.
“Tarif visum sudah diatur dalam Peraturan Gubernur Lampung Nomor 18 Tahun 2023. Tapi untuk korban kekerasan terhadap perempuan dan anak, layanan tetap gratis karena ditanggung Dinas PPPA,” ujar Direktur RSUDAM dr. Imam Gozali, saat dikonfirmasi, Minggu (5/10).
Imam menjelaskan, Pergub tersebut mengatur bahwa layanan forensik dan kamar jenazah masuk kategori layanan umum berbayar dan tidak ditanggung BPJS Kesehatan. Artinya, siapa pun yang membutuhkan visum untuk kepentingan hukum selain kasus kekerasan perempuan dan anak wajib membayar sesuai ketentuan BLUD.
“Kalau tindak pidana lain seperti penganiayaan umum atau permintaan pribadi, itu berbayar,” katanya menegaskan.
Aturan Ada, Tapi Rasa Publik Berbeda
Penjelasan itu tak serta-merta meredam suara keberatan. Di lapangan, banyak warga tak memahami perbedaan antara visum gratis dan berbayar. Bagi korban kekerasan, membayar untuk sebuah dokumen hukum yang justru menjadi bukti penderitaan, terasa ironis.
Dalam video yang beredar di media sosial, Nul (26), korban pengeroyokan di Bandar Lampung, mengaku harus membayar Rp500 ribu untuk visum meski telah membawa surat pengantar dari Polresta Bandar Lampung.
Nomor laporan pun jelas: LP/B/1455/X/2025/SPKT/Polresta Bandar Lampung/Polda Lampung.
Kasus Nul menyingkap celah lama, birokrasi layanan publik yang dingin dan tidak sensitif terhadap posisi korban. Di satu sisi ada Pergub, di sisi lain ada rasa keadilan yang belum sampai.
MoU yang Tak Diketahui Publik
Faktanya, RSUDAM sudah memiliki nota kesepahaman (MoU) dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Provinsi Lampung. Melalui kerja sama itu, biaya visum bagi korban perempuan dan anak ditanggung oleh dinas.
Masalahnya, tak semua korban tahu mekanisme ini, dan informasi soal pembebasan biaya belum sepenuhnya mengalir ke publik.
Tanpa sosialisasi masif, aturan yang bermaksud melindungi justru bisa tampak diskriminatif. Publik melihatnya sebagai “bayar atau tidak visummu tertunda.”
Secara regulasi, RSUDAM memang berada di posisi aman. Tapi secara moral dan komunikasi publik, ada yang perlu dibenahi. Rumah sakit milik pemerintah semestinya tak sekadar patuh pada Pergub, tapi juga peka terhadap konteks sosial dan psikologis korban.
Editor : Alex Buay Sako
Sumber Berita: Kumparan.com











