BERANDALAPPUNG.COM – Situasi politik menjelang pemilihan Presiden dan Wakil Presdien serta pemilihan anggota legislatif semakin memanas. Semua mata sepertinya tertuju pada Mahkamah Konstitusi yang akan mengumumkan atau membacakan putusan atas gugatan usia calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pada tanggal 16 Oktober hari Senin yang akan datang atau 3 hari menjelang pendaftaran calon presiden segala kemungkinan dapat terjadi usai keputusan MK.
Mahkamah Konstitusi dapat mengabulkan, menolak, atau bisa juga mengabulkan tapi baru berlaku untuk pemilihan presiden dan wakil presiden yang akan mendatang bukan untuk pemilihan presiden dan wakil presiden februrary tahun 2024.
Kalau diasumsikan bahwa Makamah Konstitusi itu menolak permohonan maka persoalan jadi selesai. Tapi kalau Mahkamah Konstitusi kemudian menerima putusan permohonan usia calon presiden dan calon wakil presiden dari 40 menjadi 35 tahun dan ataupun Mahkamah Konstitusi mengatakan tetap 40 tahun kecuali ada syarat pernah menjadi kepala daerah atau lain-lainnya, maka itu akan terjadi tetap perubahan kekuatan politik yang baru dalam beberapa hari yang akan datang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Seperti diketahui, nama Gibran ramai dibicarakan mendapat banyak dukungan dari relawan bakal Capres Prabowo Subianto untuk maju berdampingan sebagai Cawapres dalam Pilpres 2024 mendatang. Dukungan pun datang hingga banyak atribut yang digunakan dengan menyandingkan Gibran bersama Prabowo.
Gibran sebagaimana diketahui belum berumur 40 tahun sebagaimana syarat dalam pencalonan Capres dan Wapres dan sekarang Gibran masih menjabat walikota solo. maka banyak orang yang beranggapan bahwa gugatan tersebut untuk meloloskan Gibran sebagai calon wakil presiden (cawapres)
Perkara gugatan terhadap batas usia calon presiden dan calon wakil presiden diajukan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) PSI meminta Mahkamah Konstitusi mengubah batas usia capres-cawapres dari 40 menjadi 35 tahun. Batas usia itu tertuang dalam Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Para pemohon mempersoalkan Pasal 169 huruf q UU Pemilu berbunyi, “Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah: berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun.
Sejumlah pakar hukum tata negara menilai Mahkamah Konstitus tidak semestinya mengabulkan permohonan tersebut. Mereka merujuk prinsip kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang selama ini telah dijalankan Mahkamah Konstitusi dalam berbagai perkara pengujian undang-undang sebelumnya. Open legal policy atau kebijakan hukum terbuka adalah kebijakan mengenai ketentuan dalam pasal tertentu dalam undang-undang yang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dan DPR.
Mahkamah Konstitusi harus dan wajib konsisten dengan prinsip “open legal policy” Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang sedang diuji materi di MK, hanya boleh ditentukan atau diubah oleh DPR dan pemerintah selaku positive legislator.“Mahkamah Konstitusi itu kerjanya sebagai negative legislator, artinya hanya membatalkan kalau ada sesuatu yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. MK tidak boleh membatalkan sesuatu yang tidak dilarang oleh konstitusi.
Kalau Mahkamah konstistusi ingin mengeluarkan putusan yang bersifat Positif legislator harus memiliki berbagai pertimbangan seperti yang ditulis oleh Martitah dalam bukunya Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature ke Positive Legislature? (Jakarta, 2013) menyatakan terdapat beberapa pertimbangan bagi Hakim MK dalam mengeluarkan putusan yang bersifat positive legislator antara lain:
1. Faktor keadilan dan kemanfaatan masyarakat;
2. Situasi yang mendesak;
3. Mengisi rechtvacuum untuk menghindari kekacauan hukum dalam masyarakat
Kalau melihat gugatan yang diajukan terhadap usia Capres dan Cawapres tidak memenuhi syarat untuk Mahkamah Konstitusi membuat putusan yang bersifat Positif Legislator. Karena tidak memenuhi syarat maka sudah seharusnya mahkamah konstitusi menolak gugatan usia Capres dan Cawapres karena syarat usia atau pengaturan batas usia minimum merupakan sebuah kebijakan maka ini merupakan kewenangan dari pembentuk undang-undang yaitu DPR dan pemerintah atau wilayahnya legeslatif revie dan persoalan batas usia bukanlah persoalan konstitusional.
Urusan umur atau itu tidak ada urusan dengan konstitusi.usia adan umur bukan isu pengujian konstitusionalitas. Tidak ada dasar yang mengatakan, bahwa penetapan umur pada seseorang untuk menempati jabatan tertentu, baik jabatan politik maupun non politik bukan urusan konstitusional. Bagaimana dapat mengatakan bahwa 40 tahun, 30 tahun atau berapapun itu konstitusional? apa yang menjadi ukuran konstitusional atau tidak.
Argumentasi bahwa usia minimal capres cawapres adalah 40 tahun adalah inkonstitusional tidak ada dasarnya atau tidak ukuran yang jelas. Kredibilitas atau marwah lembaga Mahkamah Konstitusi dipertaruhkan karena dengan mengabulkan permohonan tersebut maka lembaga tinggi negara itu dinilai inkonsisten terhadap putusan dan dianggap dapat dianggap melanggar UUD 1945 karena Mahkamah Konstitusi bisa dianggap menyerobot kewenangan pembuat undang-undang.
kita mengigatkan agar Mahkamah Konstitusi berhati-hati dalam perkara batas usia capres-cawapres ini. Mahkamah Kosntitusi harus atau wajib mempertimbangkan posisi lembaga itu sebagai guardian of constitution atau pelindung utama konstitusi. Apapun putusan Mahkamh Konstitusi dalam pengujian Undang-Undang Pemilu terhadap UUD 1945 ini dinilai tidak cuma akan berkorelasi dengan regulasi pemilihan presiden, tapi juga cermin kinerja para hakim konstitusi atau lembaga konstitusi.
Oleh karena itu, sembilan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam mengambil keputusan harus bebas dari kepentingan politik. jika Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan tersebut, maka lembaga itu bisa dianggap menjadi instrumen politik dari kekuasaan.
Mahkamah Konstitusi harus dan wajib menjaga prinsip dasar kemandirian dan kekuasaan kehakiman sebagai bentuk integritas sebuah lembaga penegak hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi harus dan wajib mendengarkan suara masyarakat dalam memutuskan perkara itu. Hakim konstitusi harus memiliki sikap kenegarawanan serta mengedepankan kepentingan bangsa dan negara serta mempertimbangkan implikasi politis dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
Mahkamah konstitusi dilahirkan atau dibentuk untuk menjaga atau melindungi agar negara atau pemerintah tidak berbuat sewenang-wenang terhadap warga negaranya atau melanggar konstitusi bukan untuk mempertahankan kekuasaan atau melanjutkan kekusaan seseorang atau sekelompok orang.
Hakim-hakim mahkamah Konstitusi dipilih dan diangkat syarat utamanya adalah seorang negarawan. Seorang negarawan adalan seorang yang mementingkan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi dan golongan.
Dalam memberikan atau membuat putusan terhadap gugatan usia capres dan cawapres ini kita berharap para hakim Mahkamah Konstitusi bersikap negarawan, karena putusan yang akan diambil menjadi sejarah perjalanan kebangsaan dan kenegaraan bangsa Indonesia jangan sampai lembaga Makamah Konstitus yang dibentuk untuk menjaga atau melindungi konstitusi justru menjadi pelanggar konstitusi yang utama.
Kita menggigatkan para hakim konstitusi yang ada di Mahkamah Konstitusi untuk sadar bahwa putusan mereka berdampak pada bangsa dan negara Indonesia ke depan maka harus dan sangat berhati-hati dalam membuat keputusan dan putusan hakim Mahkamah Konstitusi juga akan selalu diingat oleh masyarakat karena apabila salah dalam mengambil keputusan maka yang dipertaruhkan adalah masa depan negara dan bangsa Indonesia jangan sampai para hakim konstitusi diingat dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia sebagai orang-orang yang menjadi perusak utama perjalanan ketatanegaran bangsa Indonesia.
yang perlu diingat adalah bahwa putusan Mahkamah Konstitusi harus dipertangungjawabkan Kepada Allah, Tuhan yang Maha Esa. Maka kita Berharap dan masih meyakinkan bahwa para hakim konstitusi akan memberikan putusan yang terbaik bagi bangsa dan negara bukan untuk kepentingan syahwat kekeuasaan seseorang atau sekelompok orang.
Oleh : Dr. Budiyono,S.H,M.H
Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung