Polda Bongkar Makam Mahasiswa Unila, Dugaan Kekerasan dalam Diksar Kian Menguat
berandalappung.com— Bandar Lampung, Kepolisian Daerah (Polda) Lampung akhirnya melakukan ekshumasi atau pembongkaran makam almarhum Pratama Wijaya Kusuma, mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Lampung (Unila), pada Senin pagi, 30 Juni 2025. Langkah ini diambil demi mengungkap penyebab pasti kematian Pratama, yang diduga kuat meninggal secara tidak wajar usai mengikuti Pendidikan Dasar (Diksar) organisasi Mahasiswa Pencinta Alam (Mahapel) FEB Unila.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Proses ekshumasi dimulai pukul 09.00 WIB dan akan ditindaklanjuti oleh tim forensik,” ujar Kompol Zaldy Kurniawan, Kasubdit III Jatanras Ditreskrimum Polda Lampung.
Pembongkaran makam dipimpin langsung oleh tim dokter forensik dari RS Bhayangkara Polda Lampung. Sampel tubuh korban kini tengah diperiksa guna memastikan ada atau tidaknya unsur kekerasan yang menyebabkan kematian. Hasilnya akan diumumkan setelah seluruh proses laboratorium selesai.
Indikasi Kekerasan Semakin Kuat
Penelusuran kasus ini bukan tanpa dasar. Investigasi internal Unila yang dipimpin oleh Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni, Prof. Sunyono, mengungkap dugaan kuat adanya praktik kekerasan fisik dan psikis selama Diksar Mahapel berlangsung.
Laporan resmi menyebutkan, Pratama dan peserta lainnya dipaksa menjalani aktivitas ekstrem dalam kondisi tidak aman. Ia diduga menerima perlakuan keji, mulai dari pemukulan, pencelupan kepala ke lumpur, hingga mendapat tekanan verbal yang merendahkan martabat. Lebih jauh, investigasi mencatat adanya keterlibatan aktif sejumlah alumni dan senior Mahapel yang bukan hanya membiarkan, tetapi juga terlibat langsung dalam praktik kekerasan tersebut.
Kelalaian Struktural Fakultas
Temuan internal kampus juga mengarah pada kelalaian serius dari pihak struktural FEB Unila. Pengawasan dinilai lemah. Wakil Dekan III dianggap lalai, sementara Dosen Pembina Lapangan (DPL) tercatat tidak hadir saat kegiatan lapangan berlangsung. Kegiatan Diksar juga disebut tidak memperoleh verifikasi dan pengawasan sesuai ketentuan yang berlaku di lingkungan kampus.
“Ini bukan hanya persoalan kekerasan, tapi juga kegagalan sistem pengawasan akademik,” ujar Prof. Sunyono dalam keterangan resminya.
Organisasi Mahasiswa Tak Kooperatif
Lebih menyulitkan lagi, Mahapel FEB Unila dinilai tidak kooperatif. Mereka menolak memberikan data kegiatan, menghindari klarifikasi, dan menutup akses terhadap dokumen penting yang dibutuhkan tim investigasi. Tindakan ini dinilai melanggar sejumlah regulasi, antara lain:
• Peraturan Rektor Unila No. 25 Tahun 2020 tentang Hak dan Kewajiban Mahasiswa,
• Peraturan Rektor No. 11 Tahun 2023 tentang Organisasi Kemahasiswaan, dan
• Permendikbudristek No. 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Pihak kampus menegaskan, segala bentuk kekerasan dalam kegiatan kemahasiswaan, termasuk pembiaran oleh struktur organisasi maupun akademik, akan ditindak secara tegas, transparan, dan sistematis.
Reputasi Kampus Dipertaruhkan
Tragedi ini menjadi cermin buram praktik organisasi mahasiswa yang lepas dari kendali pembinaannya. Unila kini berada dalam sorotan publik dan menghadapi desakan kuat dari berbagai pihak untuk tidak menyapu masalah ini ke bawah karpet.
“Keselamatan mahasiswa adalah prioritas utama. Kampus tak boleh abai, apalagi menutup-nutupi,” tegas Prof. Sunyono.
Polda Lampung menyatakan penyelidikan terus berlanjut. Jika terbukti ada unsur pidana, semua pihak yang terlibat akan diproses sesuai hukum. Sementara itu, keluarga korban berharap keadilan dapat ditegakkan dan kematian anak mereka tidak sia-sia.
Editor : Alex Buay Sako