Pengelolaan Hama Berbasis Ekologi: Kunci Ketahanan dan Keberlanjutan Pertanian

Avatar photo

- Jurnalis

Senin, 11 Agustus 2025 - 07:45 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pengelolaan Hama Berbasis Ekologi: Kunci Ketahanan dan Keberlanjutan Pertanian

Oleh : Dr. Puji Lestari, S.P., M.Si.
Dosen Jurusan Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan Anggota Ikaperta Unila

 

berandalappung.com— Raja Basa, Bayangkan sebuah lahan sayur yang hijau subur, penuh dengan berbagai bunga di tepiannya. Lebah, kupu-kupu, dan capung sibuk bekerja, sementara populasi hama tetap terkendali. Gambaran ini bukan utopia, ini adalah masa depan pertanian yang bisa kita wujudkan jika berani mengubah cara pandang dalam mengendalikan hama.

Pertanian modern saat ini dihadapkan pada sebuah dilema besar yaitu bagaimana menjaga produktivitas tetap tinggi di tengah ancaman tingginya serangan hama tanpa merusak lingkungan dan kesehatan manusia? Selama puluhan tahun, pestisida kimia telah menjadi “senjata” utama petani dalam mengendalikan hama.

Memang, hasilnya cepat terlihat. Namun, penggunaan yang berlebihan justru memunculkan masalah baru diantaranya hama menjadi resisten, populasi musuh alami menurun, tanah kehilangan kesuburannya, dan lingkungan tercemar.

Kondisi ini mendorong munculnya pendekatan baru yang lebih ramah lingkungan, salah satunya dengan pendekatan dalam pengelolaan hama yang berbasis pada ekologi. Strategi ini memanfaatkan keseimbangan alam untuk mengendalikan hama, dengan mengandalkan interaksi alami antarorganisme di ekosistem pertanian. Prinsip utamanya sederhana yaitu bukan membasmi semua hama hingga tuntas, melainkan mengatur populasinya agar tetap berada di bawah ambang kerusakan ekonomi. Oleh karena itu, penting sekali untuk memahami pengelolaan hama berbasis ekologi.

Berbeda dengan pendekatan konvensional yang cenderung reaktif, menggunakan pestisida hanya setelah serangan hama terjadi. Pengelolaan hama berbasis ekologi bersifat preventif. Sistem ini membangun ekosistem yang sehat dan seimbang sehingga ledakan hama jarang terjadi. Ada beberapa pilar penting yang menopang pendekatan ini, mulai dari konservasi musuh alami, pengelolaan habitat, keanekaragaman tanaman, hingga pemantauan populasi hama secara rutin.

Musuh alami dalam hal ini memegang peranan vital. Musuh alami adalah “tentara tak bergaji” yang sangat efektif. Predator seperti kepik, laba-laba, dan capung bekerja memangsa telur atau larva hama. Parasitoid, seperti Trichogramma sp., dan Telenomus sp. bahkan meletakkan telurnya di dalam telur hama, membuat hama mati sebelum sempat berkembang. Sementara itu, patogen serangga seperti jamur entomopatogen menyerang dan membunuh hama secara alami. Ketiganya adalah “tentara” alami yang bekerja tanpa meminta upah, asalkan kita tidak merusak habitatnya dengan menggunakan pestisida yang tidak bijaksana.

Baca Juga :  Kemerdekaan Bukan Hanya Untuk Pers, Tapi Pilar Demokrasi, dan Tanggung Jawab Wartawan

 

Salah satu cara efektif mendukung keberadaan musuh alami adalah dengan membangun refugia. Area ini berfungsi sebagai zona perlindungan bagi serangga bermanfaat sekaligus penyedia pakan tambahan berupa nektar dan polen. Tanaman berbunga seperti kenikir, bunga kertas (Zinnia), dan bunga matahari adalah contoh refugia yang mudah dibudidayakan di tepi lahan. Kehadiran refugia tidak hanya menyediakan rumah aman, tetapi juga menciptakan keragaman mikrohabitat.
Pengelolaan hama berbasis ekologi berpijak pada prinsip pencegahan. Sistem yang sehat mampu menekan pertumbuhan hama sebelum jumlahnya membahayakan tanaman. Keanekaragaman menjadi kunci dalam pengelolaan hama berbasis ekologi.

Sistem budidaya monokultur sering memicu ledakan hama karena menyediakan sumber makanan melimpah bagi satu jenis organisme. Dengan menanam tanaman pendamping, melakukan rotasi tanaman, atau menanam refugia, kita menciptakan lingkungan yang baik dan mendukung keberagaman mahluk yang hidup di dalamnya, termasuk keberagaman musuh alami.

Penerapan pengelolaan hama berbasis ekologi tidak berarti menolak total pestisida. Pestisida tetap dapat digunakan, namun petani harus “bijak” dalam menggunakan pestisida. Pestisida dapat digunakan sebagai alternatif terakhir dalam pengendalian hama. Dalam menggunakan pestisida juga harus memperhatikan bahan aktif yang sesuai dengan hama target, dosis yang tepat, dan waktu aplikasi yang sesuai agar dampaknya terhadap organisme non-target tetap minimal. Semua itu didukung oleh pemantauan lapangan secara rutin, karena keputusan pengendalian harus didasarkan pada data, bukan asumsi.

Baca Juga :  Keberanian Orang Beriman, Ketika Ancaman Dunia Tak Lagi Menakutkan

Jika pendekatan ini berjalan dengan optimal, manfaatnya akan dirasakan tidak hanya oleh petani, tetapi juga oleh lingkungan dan konsumen. Lahan menjadi lebih ramah lingkungan karena minim residu pestisida. Biaya produksi bisa ditekan karena ketergantungan pada bahan kimia berkurang. Hasil panen pun lebih sehat, aman dikonsumsi, dan bernilai jual lebih tinggi. Selain itu, pengelolaan hama berbasis ekologi membantu menjaga keberlanjutan pertanian jangka panjang serta mengurangi risiko resistensi hama yang sering menjadi momok di lahan intensif.
Meski manfaatnya jelas, penerapan di lapangan tidak selalu mudah. Masih banyak petani yang belum familiar dengan konsep ini. Persepsi bahwa “Pestisida = efektif – pengendalian hama dengan pestisida menunjukkan hasil yang cepat” juga menjadi tantangan tersendiri. Selain itu, ketersediaan bibit tanaman refugia dan sumber daya pendukung kadang terbatas.

Tekanan pasar untuk menghasilkan panen cepat dan dalam jumlah besar juga membuat sebagian petani enggan mencoba pendekatan ini yang memerlukan kesabaran. Ditambah lagi, minimnya pendampingan teknis secara berkelanjutan membuat sebagian petani ragu untuk mengubah kebiasaan lama. Padahal, tanpa keberanian mencoba dan dukungan semua pihak, sistem ini sulit berkembang secara luas di lapangan.

Ke depan, pengelolaan hama berbasis ekologi seharusnya menjadi bagian dari strategi pertanian nasional yang berkelanjutan. Sinergi antara petani, penyuluh, pemerintah, akademisi, dan sektor swasta sangat dibutuhkan untuk memperluas pengetahuan dan praktik ini. Jika setiap petani mampu menerapkan prinsip-prinsip ekologi di lahannya, kita tidak hanya melindungi lingkungan, tetapi juga memastikan ketersediaan pangan sehat bagi masyarakat luas hingga generasi mendatang. Seperti pepatah lama yang bijak: “Kita tidak mewarisi bumi dari nenek moyang, meliainkan kita meminjamnya dari anak cucu.”

Menjaga keseimbangan ekosistem pertanian berarti memastikan bahwa “pinjaman” itu kita kembalikan dalam keadaan utuh bahkan lebih baik daripada sebelumnya.

Editor : Alex Buay Sako

Berita Terkait

Polda Lampung Diminta Ambil Alih Kasus Narkoba HIPMI
OTT Wamen, Noel yang Dikorbankan, dan Silverstel yang Tak Tersentuh
Kemerdekaan Bukan Hanya Untuk Pers, Tapi Pilar Demokrasi, dan Tanggung Jawab Wartawan
Peluang dan Tantangan Nanoteknologi untuk Pakan ternak Unggas
Ardito Gagal Tampil Sebagai Pemimpin, Terjebak Bayang-Bayang Sang Ayah
Hidroponik di Lahan Sempit, Solusi Produksi Pangan Keluarga
PP Muhamadiyah Lampung Sebut LGBT Musuh Kemanusiaan
Keberanian Orang Beriman, Ketika Ancaman Dunia Tak Lagi Menakutkan
Berita ini 18 kali dibaca

Berita Terkait

Minggu, 7 September 2025 - 18:57 WIB

Polda Lampung Diminta Ambil Alih Kasus Narkoba HIPMI

Jumat, 22 Agustus 2025 - 21:39 WIB

OTT Wamen, Noel yang Dikorbankan, dan Silverstel yang Tak Tersentuh

Senin, 18 Agustus 2025 - 07:03 WIB

Kemerdekaan Bukan Hanya Untuk Pers, Tapi Pilar Demokrasi, dan Tanggung Jawab Wartawan

Senin, 11 Agustus 2025 - 07:45 WIB

Pengelolaan Hama Berbasis Ekologi: Kunci Ketahanan dan Keberlanjutan Pertanian

Kamis, 24 Juli 2025 - 08:45 WIB

Peluang dan Tantangan Nanoteknologi untuk Pakan ternak Unggas

Berita Terbaru

Pemerintahan

BMBK Lampung Berbenah, 29 ASN Rotasi Serentak di Era Taufiqullah

Jumat, 10 Okt 2025 - 21:06 WIB

Pemerintahan

Respon Keluhan Visum Bayar di RSUDAM

Rabu, 8 Okt 2025 - 14:11 WIB