Krisis Regenerasi Petani, Ketika Negri Agraris Kehilangan Pewaris

- Jurnalis

Minggu, 9 Februari 2025 - 14:56 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

M. Syanda Giantara Ali K.M adalah alumnus Magister Agronomi Universitas Lampung dan anggota Ikaperta Unila. Ilustrasi: Wildanhanafi/berandalappung.com

M. Syanda Giantara Ali K.M adalah alumnus Magister Agronomi Universitas Lampung dan anggota Ikaperta Unila. Ilustrasi: Wildanhanafi/berandalappung.com

Berandalappung.com – Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan tanah yang subur dan hasil pertanian melimpah.

Namun, di balik potensi tersebut, muncul pertanyaan besar: siapa yang masih mau bertani?

M. Syanda Giantara Ali K.M adalah alumnus Magister Agronomi Universitas Lampung dan anggota Ikaperta Unila, menyoroti fakta yang mengkhawatirkan.

Lahan pertanian semakin berkurang, sawah-sawah kosong, dan anak muda lebih memilih bekerja di kantor daripada turun ke ladang.

“Petani semakin langka karena faktor ekonomi dan sosial. Gaji petani cenderung tidak stabil, gengsi sosial masih tinggi, dan banyak yang berpikir lebih baik bekerja di ruangan ber-AC dengan pendapatan tetap daripada berkotor-kotoran di sawah,” ujarnya kepada berandalappung.com Minggu, (9/2/2025).

Petani vs. Pegawai: Pilihan Realistis Generasi Muda

Data menunjukkan hanya sekitar 8% generasi muda di bawah 35 tahun yang masih terlibat di pertanian (Bangda Kemendagri, 2023).

Selebihnya, lebih memilih pekerjaan di sektor lain yang dianggap lebih menjanjikan secara finansial.

1. Perbandingan penghasilan menjadi salah satu alasan utama:

2. PNS Golongan III: Rp2,5-3 juta/bulan, belum termasuk tunjangan (BKN, 2024).

3. Pegawai Swasta: Rp2,92-3,5 juta/bulan (BPS, 2023).

4. Pegawai BUMN: Staf biasa Rp5-8 juta/bulan, bahkan bisa mencapai puluhan juta untuk level atas.

Baca Juga :  Wali Kota Bandar Lampung Akan Dilantik, Janji Kampanye atau Janji Palsu?

Petani Milenial: Rata-rata Rp2-3 juta/bulan, meskipun yang inovatif bisa meraup Rp8-15 juta/bulan dari urban farming (Sumatera Ekspres, 2024).

“Dengan angka-angka ini, banyak lulusan pertanian lebih memilih bekerja di bank, industri, atau sektor lain yang lebih menjanjikan pendapatan stabil. Persepsi bahwa bertani adalah pekerjaan kelas bawah juga masih mengakar kuat,” kata Syanda.

Butuh Perubahan Pola Pikir dan Kebijakan

Menurutnya, solusi dari krisis regenerasi petani bukan sekadar mendorong anak muda untuk turun ke sawah, tetapi juga menciptakan ekosistem pertanian yang lebih modern dan menguntungkan.

“Negara agraris tidak hanya butuh petani, tapi juga regulator, inovator, dan pelaku bisnis yang bisa membawa pertanian ke level berikutnya,” ujarnya.

Beberapa solusi yang bisa diterapkan:

1. Penguatan Kebijakan Pro-Petani

Pemerintah harus memastikan regulasi dan insentif yang mendorong anak muda kembali tertarik ke sektor pertanian.

2. Peningkatan Digitalisasi dan Teknologi

Startup agritech bisa menjadi solusi bagi petani untuk meningkatkan hasil panen dan efisiensi bisnis mereka.

3. Perubahan Persepsi Sosial

Bertani harus dipandang sebagai profesi yang modern dan menjanjikan, bukan sekadar warisan turun-temurun tanpa masa depan.

Baca Juga :  Posyandu Terintegrasi: Solusi Layanan Kesehatan Holistik untuk Masyarakat

4. Mendorong Agribisnis dan Wirausaha Pertanian

Anak muda bisa tetap bekerja kantoran sambil menjalankan bisnis pertanian berbasis teknologi.

“Pertanian Satu, Pertanian Jaya”

Syanda menegaskan bahwa keberlanjutan pertanian bukan hanya tanggung jawab petani, tetapi seluruh elemen masyarakat.

“Kita butuh yang mencangkul di sawah, tapi kita juga butuh yang mencangkul di kebijakan. Ada yang menanam padi, ada yang membuat regulasi pertanian. Ada yang jualan di pasar, ada yang membangun platform agritech,” tegasnya.

Pada akhirnya, di negeri agraris ini, siapa pun profesinya, semua tetap butuh makan.

“Nasi di piring kita tidak tumbuh dari laporan keuangan. Kopi yang kita seruput tiap pagi bukan hasil dari rapat evaluasi. Kalau negeri ini hanya melahirkan pegawai tapi kekurangan petani, kita cuma akan jadi negara agraris di atas kertas,” pungkasnya.

Harapan untuk Masa Depan Pertanian Indonesia

Regenerasi petani membutuhkan pendekatan yang lebih luas dari sekadar ajakan untuk kembali ke sawah.

Dengan inovasi, dukungan kebijakan, dan perubahan pola pikir, anak muda bisa tetap berkontribusi dalam pertanian, baik di lapangan maupun di sektor pendukungnya.

Yang terpenting, jangan pernah melupakan akar: “Pertanian Satu, Pertanian Jaya!”

Berita Terkait

Eks Pj Gubernur Lampung Samsudin Diperiksa Kejati, Bungkam soal Kasus yang Disidik
Harga Ubi Kayu Dipatok Rp1.350 per Kilo, Kementan Perketat Impor Tapioka dan Jagung
“Nasi Datang, Demo Jadi Tenang” Potret Gerakan Mahasiswa Era Delivery Order
MUI Lampung Ingatkan Aksi Jangan Jadi Ajang Anarkis
Aktivis 98 Kecam Tindakan Represif Aparat dan Tuntut Keadilan atas Gugurnya Kawan Ojol Pejuang Demokrasi
Instruksi Polri Lindungi Wartawan, Kenyataan di Lapangan Masih Jauh Panggang dari Api
Allianz Life Indonesi diduga Berangus Serikat Pekerja
Ratusan Mundur dari Sekolah Rakyat: Antara Idealisme Program dan Realitas Lapangan
Berita ini 73 kali dibaca

Berita Terkait

Jumat, 19 September 2025 - 21:27 WIB

Eks Pj Gubernur Lampung Samsudin Diperiksa Kejati, Bungkam soal Kasus yang Disidik

Rabu, 10 September 2025 - 16:52 WIB

Harga Ubi Kayu Dipatok Rp1.350 per Kilo, Kementan Perketat Impor Tapioka dan Jagung

Senin, 1 September 2025 - 21:10 WIB

“Nasi Datang, Demo Jadi Tenang” Potret Gerakan Mahasiswa Era Delivery Order

Sabtu, 30 Agustus 2025 - 20:32 WIB

MUI Lampung Ingatkan Aksi Jangan Jadi Ajang Anarkis

Jumat, 29 Agustus 2025 - 19:52 WIB

Aktivis 98 Kecam Tindakan Represif Aparat dan Tuntut Keadilan atas Gugurnya Kawan Ojol Pejuang Demokrasi

Berita Terbaru

Peristiwa

Lampung dan Jembatan Gantung yang Terlupakan

Minggu, 21 Sep 2025 - 08:07 WIB