BERANDALAPPUNG.COM –
Anomali Pendidikan Kita
Fenomena bullying turut hadir di ruang publik melalui pemberitaan dengan adanya kerap kali berbagai peristiwa utamanya terjadi di berbagai lingkungan tingkatan sekolah, sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA), pondok pesantren, sekolah kekhususan dan atau ikatan dinas, bahkan juga terjadi pada tingkatan perguruan tinggi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Beberapa peristiwa bullying tersebut bukan saja menimbulkan korban secara mental (malu, takut, shock, trauma, dan lain-lain), dan tidak jarang yang juga menderita kekerasan secara phisik yang menyebabkan cidera, luka, dan berakibat cacat, bahkan ada korban yang sampai menyebabkan kematian pada korbannya.
Orang tua/ keluarga dari siswa tidak sedikit yang meragukan dan mempertanyakan keamanan dan kenyamanan untuk “menitipkan” anak-anak mereka sebagai peserta didik pada sekolah, bahkan fenomena itu juga ikut “menghantui” orang tua yang “menitipkan” anak-anak mereka sebagai peserta didik pada pondok-pondok pesantren.
Karena peristiwa serupa pun terjadi pada beberapa pondok pesantren, masih cukup amankah lingkungan sekolah bagi anak-anak kita ?
Fenomena ini juga menghadirkan anomali lingkungan sekolah dan pendidikan kita, suatu keadaan penyimpangan atau keanehan yang terjadi dari sesuatu yang tidak semestinya (diharapkan).
Bullying dipahami secara umum sebagai perilaku agresif yang berulang, disengaja, dan memiliki tujuan untuk menyakiti, merendahkan, dan atau mendominasi orang lain secara emosional, mental, atau fisik (anggota tubuh).
Pada beberapa pemahaman, bullying juga populer disebut sebagai perundungan, yaitu perilaku yang tidak menyenangkan baik secara verbal maupun fisik yang dapat membuat seseorang (korban) merasa sakit hati dan tertekan, baik itu dilakukan seseorang ataupun berkelompok, baik itu secara nyata ataupun terjadi di dunia maya (Cyber bullying).
Perundungan ini yang kemudian berikutnya dapat mengakibatkan pada kekerasan fisik, tawuran, pengeroyokan, bahkan sampai pada peristiwa yang menyebabkan korban jiwa.
Tanggung Renteng Kepala Daerah
Secara hukum kenegaraan, Pancasila sebagai Idiologi Negara dalam menjalankan pemerintahannya telah memedomani dan sekaligus sebagai perisai bagi penyelenggara pemerintahan, dalam hal ini pada bidang pendidikan di lingkungan sekolah, dalam kaitannya dengan fenomena terjadinya bullying atau perundungan.
Sila kedua Pancasila: Kemanusiaan yang Adil dan Beradap, dapat dijadikan landasan ideologis bangsa yang mengandung nilai suatu kesadaran sikap moral dan tingkah laku manusia didasarkan pada potensi budi nurani manusia dalam hubungan dengan norma-norma dan kebudayaan pada umumnya baik terhadap diri sendiri, sesama manusia, maupun terhadap lingkungannya.
Menurut Pembukaan UUD 1945, tujuan bernegara adalah; “memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa” dan Pemerintah (eksekutif) mempunyai kewajiban dan tanggungjawab secara konstitusional untuk mewujudkan tujuan negara tersebut. Menurut Pasal 18 Ayat 1 UUD 1945:
“Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”, pembagian daerah tersebut juga meliputi tugas, fungsi, sekaligus tanggungjawab penyelenggaraan pemerintahan (daerah) di dalamnya.
Menurut ketentuan perundangan di bidang pendidikan, pengelolaan jenjang pendidikan kita dibedakan tingkatan ranah, wewenang, dan tanggungjawabnya; untuk pendidikan dasar 9 tahun ( SD – SMP ) : kabupaten/ kota, pendidikan menengah ( SMA ) : provinsi, pendidikan tinggi : pemerintah pusat, pendidikan keagamaan pondok pesantren / sejenis : Departemen Agama, pendidikan kekhususan/ kedinasan : Departemen/ Kementerian masing-masing pada pemerintah pusat.
Berdasarkan pada pembagian kewenangan dan tanggungjawab tersebut, maka peristiwa bullying atau perundungan yang terjadi pada “lingkungan” sekolah sesuai dengan tingkatan dan jenisnya dapat secara tanggung renteng (berjenjang) dimintakan pertanggungjawaban untuk ikut mengawasi dan terciptanya lingkungan proses belajar mengajar yang nyaman, aman, dan kondusif.
Terjadinya anomali di lingkungan sekolah dalam bentuk terjadinya bullying atau perundungan terhadap siswa, maka orang tua/ wali/ keluarganya dapat meminta pertanggungjawaban sekaligus meminta ganti kerugian yang ditimbulkan atasnya kepada Gubernur, Bupati, dan Walikota sesuai dengan tingkatan pendidikan/ sekolah tempat terjadinya peristiwa dimaksud.
Dengan demikian, sepatutnya juga Gubernur, Bupati, dan Walikota “turut” memberikan perhatian yang mendalam melalui Dinas Pendidikan terkait pada tingkatannya, agar anomali lingkungan pendidikan kita tidak terjadi apa yang disebut bullying atau perundangan.
Hilangnya rasa takut dari siswa didik dan atau orang tua/ keluarga yang menitipkan anaknya di sekolah-sekolah dari fenomena bullying atau perundungan ini juga merupakan bagian bentuk hadirnya Negara dalam menjamin tegaknya hak asasi manusia (hilangnya rasa takut), juga dalam mewujudkan tujuan bernegara sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945; “memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Penulis : Dr. Wendy Melfa
Pengelola Ruang Demokrasi (RuDem)