“Polemik Mic: Permintaan Maaf yang Tertinggal”
berandalappung.com— Pringsewu, Kisruh pengunduran diri Mic, siswa kelas XI SMAN 1 Pringsewu, memasuki babak baru. Setelah sempat mengundang sorotan publik, pihak sekolah akhirnya menyambangi keluarga Mic pada Jumat, 15 Agustus 2025.
Rombongan dipimpin Kepala Sekolah bersama jajaran wakil kepala sekolah dan humas.
Pertemuan yang berlangsung sederhana itu berujung pada satu pesan utama: sekolah berharap persoalan tidak lagi diperpanjang.
“Mereka datang sekitar pukul 11.00. Intinya, meminta agar anggap saja persoalan ini sudah berlalu,” kata Andre, ayah Mic, saat ditemui Tempo.
Andre menyebut, ia berusaha menghargai kedatangan tersebut. Namun ia masih menyimpan keganjilan. Permintaan maaf, baginya, tidak cukup jika tanpa komitmen perubahan. “Saya sempat minta mereka juga menemui bibi Mic, karena dari situlah persoalan bermula. Tapi tak diindahkan,” ujarnya.
Persoalan yang dimaksud Andre adalah surat pernyataan pengunduran diri yang ditandatangani bibinya Mic, Farida, di bawah tekanan pihak sekolah.
Beberapa jam setelah pertemuan dengan Andre, staf humas sekolah, Intan, akhirnya menyambangi kediaman Farida. Ia menyampaikan permohonan maaf mewakili sekolah. Farida menerima dengan terbuka, meski menilai cara itu tetap keliru.
“Paling penting mendudukkan persoalan adalah bertabayun. Kalau lembaga pendidikan bicara soal etika, seharusnya yang datang mewakili sekolah adalah sosok yang tepat,” kata Farida.
Keluarga besar Mic kemudian sepakat menerima permintaan maaf. Namun mereka menyelipkan kritik pada kepemimpinan kepala sekolah. Andi Wijaya, kakak Mic, menyinggung pidato Presiden Prabowo tentang kepemimpinan.
“Pemimpin harus berada di garis depan pada titik paling kritis. Sayangnya, dalam kasus ini, Kepala Sekolah justru mengutus staf,” ujarnya.
Meski begitu, keluarga memilih menutup lembaran lama. Mic kini bersekolah di SMA Xaverius. Pihak keluarga tidak menuntut agar ia kembali ke sekolah semula.
“Kami tidak bisa memaksa sekolah yang jelas-jelas sudah tidak mau dan tidak mampu memenuhi hak pendidikan anak kami,” kata Andre. “Yang lebih penting sekarang kondisi psikologis anak.”
Keluarga juga menyampaikan apresiasi kepada Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Lampung yang ikut turun tangan meredakan polemik. Namun pesan terakhir mereka lebih luas: kasus ini mestinya menjadi cermin rapuhnya sistem pendidikan, bukan hanya soal hak siswa, tetapi juga sikap para pendidik yang semestinya berdiri sebagai teladan.
Editor : Alex Jefri