Berandalappung.com – Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Lampung menggelar rapat kerja untuk evaluasi hasil dan konsolidasi data penanganan pelanggaran Pemilu se-Provinsi Lampung pada penyelenggaraan Pemilihan Serentak 2024.
Kegiatan ini berlangsung di Hotel Radisson Lampung pada Kamis (16/1/2025) malam.
Ketua Bawaslu Lampung, Iskardo P. Panggar, menekankan pentingnya evaluasi secara menyeluruh terhadap penyelenggaraan Pemilu 2024.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pengawasan dan mengatasi berbagai tantangan yang ditemukan pada Pilkada dan Pemilu mendatang.
“Evaluasi ini penting untuk memahami kendala teknis di lapangan, termasuk permasalahan pelanggaran dan rendahnya partisipasi masyarakat dalam Pilkada 2024,” ujar Iskardo dalam sambutannya.
Sementara itu, Ketua PWI Lampung Wirahadikusumah, yang turut hadir dalam kegiatan ini, mengusulkan pola sosialisasi yang lebih efektif, terutama dengan menyasar pemilih pemula.
Ia menekankan perlunya pendekatan yang inovatif melalui sekolah-sekolah dengan slogan “KPU to School.”
“Sebagian besar pemilih saat ini berasal dari generasi Z dan milenial. Untuk meningkatkan partisipasi, penting bagi KPU dan Bawaslu menyasar mereka melalui program-program edukasi yang langsung menyentuh sekolah-sekolah,” kata Wirahadikusumah.
Dalam diskusi, berbagai faktor yang menyebabkan rendahnya partisipasi pemilih pada Pilkada 2024 diungkapkan.
Beberapa di antaranya adalah:
1. Penggabungan TPS: Pada Pilkada, jumlah pemilih per TPS meningkat dari 300 orang (seperti pada Pemilu) menjadi 600 orang.
Hal ini menyebabkan kesulitan bagi pemilih di daerah yang jauh dari lokasi TPS.
2. Durasi Kampanye yang Singkat: Kampanye yang terlalu singkat dianggap tidak mampu menjangkau masyarakat di tingkat bawah secara efektif.
3. Aturan Kampanye: Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 13 Tahun 2024 membatasi penayangan iklan kampanye, sehingga sosialisasi kurang optimal.
4. Sosialisasi Tidak Efektif: Pendekatan sosialisasi yang dilakukan dinilai kurang mengena, menyebabkan partisipasi masyarakat di TPS menurun secara signifikan.
Menurut Wirahadikusumah, rendahnya partisipasi pemilih juga disebabkan oleh faktor politik, seperti:
Ketidaksesuaian Kandidat dengan Aspirasi Publik: Kandidat yang diusung partai politik sering kali tidak sesuai dengan harapan masyarakat.
“Fenomena Kandidat dari Luar Wilayah: Kandidat yang tidak memiliki keterkaitan emosional atau historis dengan wilayah yang dipimpinnya memengaruhi antusiasme pemilih,” tambah Wirahadikusumah.
Ketidakpuasan Publik: Rendahnya partisipasi dapat menjadi sinyal ketidakpuasan terhadap sistem politik, kandidat, atau partai politik.
“Selain itu, faktor institusional seperti jeda waktu dengan Pemilihan Presiden dan kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara pemilu turut memengaruhi partisipasi,” urai Wirahadikusumah.
Wirahadikusumah menekankan dengan minimnya Kolaborasi kurangnya kerja sama antara media dan penyelenggara pemilu dalam berbagi informasi.
“Hambatan Administratif, kesulitan dalam memperoleh data pelanggaran secara cepat dan akurat. Dan validitas dan Kekhawatiran atas keabsahan data yang diterima, sehingga berita yang disampaikan sering kali kurang relevan,” tandas Wirahadikusumah.
Wirahadikusumah berhadap kedepan, dengan adanya evaluasi ini, diharapkan pelaksanaan dapat berjalan lebih inklusif, transparan dan partisipatif.