Sinergi Kecerdasan: Mengupas Peran IA, EI, dan SI dalam
Mencegah Kecurangan Akademik
berandalampung.com— Bandar Lampung, acara pengukuhan Sidang Senat Terbuka Pada tanggal 30 April 2025 di Universitas Islam Negri Raden Intan Lampung di Gedung Ballroom UIN RIL. Pengukuhan Prof. Ir. H. Andi Thahir, S.Psi.,M.A.,Ed.D sebagai Guru Besar dalam bidang Psikologi Pendidikan dengan judul Sinergi Kecerdasan: Mengupas Peran IA, EI, dan SI dalam Mencegah Kecurangan Akademik
Dalam pemaparan yang disampaikan oleh Prof Andi Thahir bahwa, kemajuan tekhnologi menghantarkan kita berhadapan dengan era disrupsi sosial, manusia saat ini menikmati kehidupan dengan circumstance yang luas dan borderless, mampu bergerak cepat dan memberikan puncak dari kemampuan berfikir, sehingga kita saksikan dan rasakan sekarang betapa
mudahnya kita berpindah dari satu benua ke benua lainnya, betapa Artificial Intelligence telah mampu
mempersingkat waktu kita dalam mengolah pengetahuan, dan banyak lagi contoh tentang disrupsi
sosial.
Namun selain spektrum positif tersebut, disrupsi sosial juga memaksa kita menghadapi dampak dari deviasi perilaku manusia, lunturnya budi pekerti, dan lemahnya karakter.
Sehingga, Di sinilah peran kecerdasan emosional (EI) dan kecerdasan spiritual (SI) menjadi penting. Ternyata, kecerdasan intelektual (IA) saja tidak cukup untuk mencegah perilaku kecurangan akademik.
Istilah Intellectual Ability (kemampuan intelektual) konsep ini berkembang melalui kontribusi
banyak pemikir di bidang filsafat, psikologi, dan pendidikan sepanjang sejarah. Jadi, konsep intellectual ability telah berkembang secara bertahap melalui kontribusi para pemikir dan peneliti. Beberapa tokoh utama telah memberikan dasar pemikiran mengenai kemampuan intelektual.
Penyebabnya Kedua adalah rendahnya Kecerdasan Emosional. Konsep Emotional Intelligence (EI) pertama kali dicetuskan secara eksplisit oleh Peter Salovey dan John D. Mayer pada tahun 1990. Mereka mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan untuk mengenali,
memahami, mengelola, dan memengaruhi emosi diri sendiri dan orang lain. Dalam makalah mereka
yang berjudul “Emotional Intelligence”, mereka menyajikan teori dasar dan penelitian awal tentang EI.
Namun, konsep kecerdasan emosional menjadi populer secara global melalui buku “Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ ” yang ditulis oleh Daniel Goleman pada
tahun 1995. Goleman memperluas konsep ini dan mengaitkannya dengan kehidupan sehari-hari, pekerjaan, dan kepemimpinan. Buku ini memperkenalkan EI ke khalayak luas dan memberikan kontribusi besar terhadap penerapannya dalam berbagai bidang.
Ternyata istilah Intellectual Ability (kemampuan intelektual) konsep ini berkembang melalui kontribusi banyak pemikir di bidang filsafat, psikologi, dan pendidikan sepanjang sejarah. Jadi, konsep intellectual ability telah berkembang secara bertahap melalui kontribusi para pemikir dan peneliti.
Beberapa tokoh utama telah memberikan dasar pemikiran mengenai kemampuan intelektual antara lain Plato (427–347 SM), Francis Galton (1822–1911), Alfred Binet (1857–1911), Charles Spearman (1863–1945), Howard Gardner (1943–),
Penyebabnya Kedua adalah rendahnya Kecerdasan Emosional. Konsep Emotional Intelligence
(EI) pertama kali dicetuskan secara eksplisit oleh Peter Salovey dan John D. Mayer pada tahun
1990. Mereka mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan untuk mengenali,
memahami, mengelola, dan memengaruhi emosi diri sendiri dan orang lain. Semoga kedepan masyarakat sudah bisa menerima apa yang di maksud dengan AI. Sekali lagi selamat kami sampaikan untuk Prof. DR. Andi Thahir , MA sebagai Guru Besar Psikologi Pendidikan di Universitas Islam Negri Raden Intan Lampung. Semoga ilmu yang dimiliki dapat bermanfaat bagi Umat.
Editor : Hengki Padangratu