BERANDALAPPUNG.COM –
Cara Ber-demo-krasi
Pemilu (election) merupakan mekanisme ketatanegaraan dan demokrasi lima tahunan yang tertuang dan dijamin dalam Konstitusi kita UUD 1945, dengan kata lebih umumnya dipahami bahwa Pemilu merupakan cara kita berdemokrasi setiap lima tahun untuk terjadinya rotasi (pergantian/ atau meneruskan) kekuasaan pemerintahan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Makna hakikinya dari mekanisme sebuah Pemilu setidaknya menghadirkan tiga fungsi, yaitu fungsi evaluatif, fungsi proyektif, dan fungsi legitimatif, baik dari cara pandang (perspektif) postur, kebijakan, dan bahkan implementasi program/ kebijakan dari mereka yang “diberi kesempatan” melalui Pemilu untuk mendapatkan dan menjalankan kekuasaan pemerintahan, baik itu pada lapangan eksekutif maupun legislatif.
Fungsi evaluatif menghadirkan nuansa kajian, laporan, kenyataan, perbandingan dengan menggunakan rentang waktu, tempat, dan situasi secara umum yang bertolak ukur selama lima tahun hasil Pemilu sebelumnya (2019) yang selama ini “diberi kesempatan dan modal” dari kepercayaan rakyat yang pada waktu Pemilu 2019 mendapatkan mandat sekaligus tugas dari rakyat yang menjadikan dirinya dan atau Partai Politiknya mendapatkan suara hingga menempatkan kader Partai-nya untuk menempati posisi eksekutif dan atau legislatif untuk menjalankan pemerintahan.
Sebagai tolak ukur, tentu dapat dibuka file ‘janji-janji’ politik para kontestan yang berkompetisi, terpilih, dan menjalankan kekuasaan pemerintahan baik di eksekutif maupun legislatif.
Termasuk dalam bagian ini adalah apabila mereka yang selama ini terpilih dan menempati posisi politik dianggap tidak mampu/ cakap bekerja untuk kepentingan publik, tidak membuat/ atau menghadirkan program-program untuk kepentingan publik meskipun untuk di daerah pemilihannya (dapil) sekalipun, tidak ‘hadir’ ketika rakyat membutuhkannya melainkan hanya ‘asyik dengan diri sendiri’ termasuk dalam hal ini hanya ‘hadir’ di dapilnya dalam bentuk-bentuk acara formal berupa reses.
Yang tidak ada follow up program kebijakan, sosialisasi empat pilar/ atau peraturan daerah yang kegiatan tersebut dibiayai oleh APBN/ APBD, tidak pernah memberikan pernyataan-pernyataan pada ruang-ruang publik secara terbuka untuk kepentingan publik (datang-duduk-diam) sebagai anggota parlemen baik untuk kepentingan nasional maupun kepentingan daerah pada dapilnya sekalipun (padahal Parlemen itu sendiri berasal dari kata Parle (Latin) yang berarti bicara).
Pada saat inilah publik dalam hal ini pemilih pada Pemilu mempunyai wewenang untuk ‘mengadili’ secara politik orang yang selama ini diberikan amanah dan kepercayaan pernah dipilih pada Pemilu 2019 lalu.
Konsekuensi dari fungsi ini adalah; apabila publik beranggapan gagal / kurang berhasil, maka publik akan ‘mengganti’ pihak yang menjalankan kekuasaannya dalam bentuk tidak memilihnya kembali pada Pemilu 2024 (meskipun dengan menggunakan cara ‘pragmatis’ sekalipun karena publik sadar bahwa cara pragmatis tersebut hanya jual beli suara saat pencoblosan tanpa ada keuntungan/ keberpihakan kepada rakyat pemilih setelah yang terpilih duduk sebagai anggota parlemen), namun apabila publik hanya memberi catatan-catatan untu lebih baik, bisa jadi publik ‘masih’ akan memberikan ‘kepercayaan’ untuk meneruskan kekuasaan pemerintahannya, penilaian sepenuhnya ada pada rakyat pemilih yang akan menggunakan hak pilihnya, hal inilah salah satu esensi kedaulatan rakyat itu digunakan oleh rakyat.
Kedaulatan rakyat itu akan bermanfaat untuk rakyat, manakala digunakan secara benar, namun bila digunakan secara tidak benar, maka kedaulatan itu akan ‘berubah menjelma’ menjadi pragmatisme rakyat dalam Pemilu.
Fungsi proyektif mengandung proposal dan harapan baru, ataupun harapan adanya peningkatan/ perbaikan dari kondisi yang sudah ada dengan bersandarkan pada cita-cita dan asumsi adanya keinginan yang lebih baik dari kondisi dan kenyataan yang ada saat ini yang bertolak ukur selama lima tahun kedepan, sampai 2029 (reguler Pemilu).
Mungkin ada banyak hal yang diharapkan terjadi akselerasi (percepatan) dan ataupun lompatan yang dapat mendorong bangsa ini menjadi cepat maju dan menciptakan kesejahteraan rakyatnya, sebagai upaya bertransformasi sosial atas kebijakan-kebijakan untuk kepentingan bangsa dan rakyat kita.
Sebagai tolak ukur dalam menjalankan fungsi ini adalah ‘postur’ performance diri pribadi dan kelembagaan (Parpol), selanjutnya ide, gagasan, dan wawasan, serta juga visi misi, latar belakang pendidikan formal (dibuktikan dengan jenjang pendidikan), kemampuan dan kecerdasan intelektual/ keahlian/ keterampilan/ pengalaman, modal sosial yang kuat dari sang candidat (bukan menggunakan/ nebeng modal sosial dari ‘Bapaknya atau keluarganya’ (belum mandiri dalam modal sosial, bisa-bisa nanti untuk membuat kebijakan ketika duduk di Parlemen akan bertanya dulu pada ‘bapaknya’, ini yang disebut belum mandiri dalam berpolitik), usia dan tampilan para candidat juga salah satu faktor yang harus dipertimbangkan, bagaimana mungkin bisa menghasilkan pikiran-pikiran dan kerja-kerja cerdas yang ‘fresh’ manakala dirinya sendiri saja sudah kurang ‘fresh’ untuk bertarung memperjuangkan kepentingan publik, dan lain sebagainya dari para kontestan yang terseleksi telah dinyatakan sah sebagai ‘calon’ oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Konsekuen dari fungsinya ini, publik hanya akan ‘memberi tugas’ kepada mereka yang dipandang mampu dan mau membawa harapan untuk mewujudkan apa yang publik ‘proyeksikan’, terhadap mereka yang belum mendapat kepercayaan, itu sama saja publik tidak yakin akan kemampuan dan kemauan mereka kelak nanti untuk membawa harapan atau mewujudkan apa yang ‘diproyeksikan’ meskipun mereka dipilih, oleh karena itu publik menilai lebih baik mereka tidak dipilih untuk diberi kepercayaan untuk mengemban tugas dan amanah itu.
Berikutnya fungsi legitimatif, adalah fungsi yang juga berperan penting untuk jalannya pemerintahan lima tahun kedepan. Angka partisipasi pemilih dalam setiap Pemilu akan menjadi ‘modal politik’ sebagai ‘bahan bakar’ utama bagi rezim kekuasaan dari sebuah hasil Pemilu untuk menjalankan kekuasaan pemerintahannya, karena idealnya mereka yang mendapatkan legitimatif untuk menjalankan kekuasaan pemerintahan hasil Pemilu, telah pula lolos ‘seleksi’ dari menjalankan kedua fungsi dan tahapan sebelumnya, yaitu evaluatif dan prospektif.
Penulis
Dr. Wendy Melfa, SH., MH.Peneliti pada Ruang Demokrasi (RuDem) LampungP
Pembina WIMNUS (Wira Usaha Muda Nusantara) Lampung