Bandar Lampung (berandalappung.com) – Di sebuah kota kecil yang tenang, pesta demokrasi menjadi momen paling dinanti.
Semua mata tertuju pada mereka yang bertugas menjaga keadilan dan transparansi, yaitu para Komisi Peluang Untung dan Badan Was-was Lupa.
Namun, di balik layar yang tampak formal dan penuh tanggung jawab, tersimpan gaya hidup yang bertolak belakang dengan esensi tugas mereka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hari itu, langit cerah menyinari sebuah restoran mewah di pusat kota.
Di salah satu sudut ruangan, beberapa anggota lokal tengah menikmati santapan makan siang mereka.
Bukan hanya menu sederhana seperti nasi goreng atau ayam bakar, tapi makanan bertarif jutaan rupiah lengkap dengan minuman impor yang memeriahkan meja mereka.
Perbincangan mereka ringan, namun terasa ada yang mengganjal.
“Bagaimana kabar kontrak pengadaan logistik itu?” tanya seorang pria berjas abu-abu sambil menyeka bibirnya dengan serbet linen.
“Kita aman. Semua sudah sesuai rencana. Jangan lupa besok malam di villa Pak Anton, ada acara santai,” jawab seorang wanita yang tampak mengenakan perhiasan emas mencolok.
Sebagai Komisi Peluang Untung dan Badan Was-was Lupa tugas mereka jelas berat.
Mereka diharapkan menjaga integritas agar setiap suara rakyat terjamin kejujurannya.
Namun, beberapa di antara mereka mulai melupakan tanggung jawab itu.
Gaya hidup hedonisme menjadi jalan pelarian, alasan klasik seperti “menghargai diri sendiri” setelah lelah bekerja keras menjadi pembenaran.
Perayaan di Tengah Kekacauan
Malam itu, villa Pak Anton penuh dengan deretan mobil mewah.
Suara musik berdentum, lampu warna-warni menghiasi kolam renang yang dipenuhi tamu dengan gelas koktail di tangan.
Beberapa tamu adalah kolega mereka di lembaga Komisi Peluang Untung dan Badan Was-was Lupa. Sementara sisanya adalah “relasi bisnis” yang tak asing lagi.
Di sudut ruangan, seorang anggota Badan Was-was Lupa tengah asyik berbicara dengan seorang kontraktor lokal.
“Proyek kotak suara tambahan itu sudah saya tandatangani. Ingat ya, ada ‘bonus’ yang harus disiapkan,” katanya sambil terkekeh kecil.
Sementara itu, seorang anggota Peluang Untung tampak memamerkan arloji baru yang harganya cukup untuk membangun satu sekolah di pedalaman.
“Ini hadiah dari teman. Katanya biar saya terlihat lebih profesional,” ujarnya dengan bangga.
Beban di Pundak Rakyat
Kehidupan mewah yang mereka jalani sering kali menimbulkan pertanyaan di masyarakat.
Dari mana sumber uang mereka? Apakah semua itu berasal dari gaji sebagai Komisi Peluang Untung dan Badan Was-was Lupa.
Namun, kecurigaan itu sering kali tenggelam oleh serangkaian pembelaan mereka di hadapan publik.
“Kami bekerja siang dan malam untuk memastikan pemilu berjalan lancar. Kami juga manusia yang butuh hiburan,” ujar salah satu anggota Badan Was-was Lupa dalam sebuah wawancara.
Namun, rakyat kecil yang menyaksikan hal ini hanya bisa mengelus dada.
Mereka tahu pesta demokrasi seharusnya menjadi ajang perayaan hak rakyat, bukan panggung hedonisme segelintir orang.
Akhir dari Kisah
Hari pemilu tiba. Di tempat pemungutan suara, petugas bekerja keras, relawan berpeluh memastikan segalanya berjalan sesuai aturan.
Di sisi lain, beberapa penyelenggara yang menjadi aktor utama malah sibuk memantau layar ponsel mereka, memastikan hasil sesuai dengan kepentingan yang telah disepakati.
Hedonisme yang mereka nikmati perlahan menjadi bayangan kelam bagi demokrasi itu sendiri.
Kepercayaan masyarakat luntur, dan idealisme yang dulu menyertai sumpah jabatan mereka menguap entah ke mana.
Di akhir cerita ini, demokrasi tetap berjalan, tapi dengan luka yang menganga.
Integritas Komisi Peluang Untung dan Badan Was-was Lupa, menjadi catatan suram, menyisakan pertanyaan: sampai kapan pesta demokrasi akan dibajak oleh gaya hidup hedonisme segelintir penjaganya?