Hegemoni ‘Piting’ Warga Rempang

Avatar photo

- Jurnalis

Rabu, 20 September 2023 - 14:39 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

BANDALAPPUNG.COMANATOMI KONFLIK Pulau Rempang menasional namanya ketika 7 September 2023 lalu terjadi bentrokan yang memilukan antara warga yang berdomisili di Pulau itu dengan aparat keamanan, sesaat Badan Pengusahaan (BP) Batam bersama aparat TNI dan Polri mencoba ‘memaksa’ masuk wilayah Pulau itu untuk melakukan pengukuran dan pematokan tanah, yang direncanakan akan digunakan dalam Proyek Strategi Nasional (PSN) Rempang Eco-City, sebuah rencana investasi yang merupakan gabungan investor dalam negeri dengan menggandeng investor asing yang konon direncanakan untuk membangun pabrik panel surya di pulau tersebut.

 

Tersiar khabar sesungguhnya warga pulau Rempang menyatakan tidak menolak rencana investasi dan pembangunan proyek tersebut, mereka meminta agar 16 kampung tua yang berusia ratusan tahun tidak terkena penggusuran, disebut kampung tua karena memang kampung beserta warga asli melayu telah berdomisili turun menurun berpenghidupan di kampung tua itu, bahkan konon keberadaan kampung tua dan penduduk asli masyarakat adat melayu telah berdiam di sana sebelum Indonesia menyatakan diri sebagai negara merdeka.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

 

Pemerintahpun menyatakan bahwa warga terdampak penggusuran atas lahan tersebut dinyatakan tidak memiliki sertifikat sebagai bukti sah kepemilikan atas tanahnya, kemudian dari 16 kampung tua tersebut, sementara hanya 3 kampung tua, yaitu Kampung Sembulang Hulu, Sembulang Tanjung, dan Pasir Panjang yang berpenduduk sekitar 700 kk.

 

Ilustrasi bentrokan Rempang tersebut, dapat dikonstruksikan sebagai konflik kepentingan antara warga pulau Rempang dengan Pemerintah dan pihak investor PSN Rempang Eco-City dengan menggunakan aparat keamanan (TNI, Polri, Direktorat Pengamanan Aset BP Batam) sebagai pihak yang digunakan untuk mengeksekusi dengan dalih investasi, penegakan hukum, dan atau penertiban, dan pasca bentrokan serta ‘hadirnya luka’ sejumlah korban baik pada pihak masyarakat maupun pihak aparat, juga beberapa masyarakat yang dijadikan ‘terperiksa’ di Kepolisian, Pemerintahpun kekeh, bahwa Proyek Strategi Nasional (PSN) Rempang Eco-City tetap berlanjut.

Baca Juga :  Cawapres Gibran : Milenial Lampung Berpotensi dan Kompak

 

HEGEMONI YANG GAGAL

Penggunaan kekuasaan pemerintahan terhadap rakyatnya, merupakan bentuk lain dari apa yang disebut hegemoni kekuasaan (Antonio Gramsi), Hegemoni bukan hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, tetapi hubungan persetujuan dengan mengunakan kepemimpinan politik dan ideologis.

 

Hegemoni adalah kemenangan kelas yang berkuasa yang didapatkan melalui mekanisme konsensus yang menjadi kekuatan sosial politik. Dalam konteks rencana investasi yang berujung bentrok di pulau Rempang, bisa saja bangunan ‘konsensus kaki tiga’ antara penduduk-pemerintah-investor belum terkonstruksi dengan tuntas, atau ada bagian dari pelaksanaan ‘konsensus’ itu yang tidak berjalan optimal.

 

Penggunaan persetujuan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis merupakan ejawantahan dari bagaimana secara politik dan ideologis negara melalui pemerintahannya memperlakukan rakyatnya dalam membangun konsensus untuk menjalankan kekuasaannya.

 

Penyelenggaraan kekuasaan politik dan ideologis Indonesia tentu saja merujuk pada Pancasila khususnya Sila Kelima: “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, dan tujuan bernegara sebagaimana tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945: “Pemerintah Negara Republik Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum.

Baca Juga :  Menanti “kejutan” Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK)

 

Pancasila dan konstitusi bangsa kita sepatutnya hadir dan menjiwai setiap sektor kehidupan, termasuk dalam hal masuknya investor, penggunaan tanah hak ulayat (adat) yang didiami oleh penduduk asli yang memang sudah berdomisili tinggal dan mencari kehidupan di kampung tua sejak lama, perencanaan relokasi penduduk pulau Rempang yang terdampak PSN Rempang Eco-City, pendekatan penggunaan aparat keamanan dalam ‘memobilisasi dan memaksa’ penduduk, sepatutnya digunakan dengan pendekatan bingkai Pancasila dan UUD 1945, yaitu bagaimana bisa menghadirkan keadilan sosial, melindungi penduduknya, serta menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat, tanpa itu semua maka sama saja penggunaan dominasi kekuasaan oleh pemerintahan untuk menghegemoni penduduk bukan dengan cara membangun konsensus, tetapi dengan kekerasan dan persuasif.

 

Inikah yang dimaksud oleh sang Jenderal dengan ‘hegemoni piting’, hadapi rakyat Rempang dengan cara dipiting, kalo ada 1000 orang, turunkan kekuatan anggota 1000, masing-masing ‘mempiting’ setiap penduduknya, lantas dimana keadilan sosialnya Jenderal ?, dimana pula perlindungan terhadap rakyatnya, makin jauh pula hadirnya investasi itu untuk mensejahterakan rakyat ?

 

Wah kalo itu bukan negeri kita yang Pancaila, tapi mungkin itu terjadi di negeri antah berantah mungkin saja, Salam 5 jari, Salam Pancasila.

Penulis

Dr. Wendy Melfa, SH., MH.
Pengelola Ruang Demokrasi (RuDem) Lampung

 

 

Berita Terkait

Dulu Sewaktu Kau Masih Bisa Tersenyum
Babang : “Kuliner Bangik Temon” Ala Ulun Lampung
Pengemis Jalanan
Taman Fly Over
Rekreasi Pantai
Berita ini 44 kali dibaca

Berita Terkait

Minggu, 5 November 2023 - 19:29 WIB

Dulu Sewaktu Kau Masih Bisa Tersenyum

Rabu, 1 November 2023 - 11:19 WIB

Babang : “Kuliner Bangik Temon” Ala Ulun Lampung

Rabu, 20 September 2023 - 14:39 WIB

Hegemoni ‘Piting’ Warga Rempang

Selasa, 19 Oktober 2021 - 16:48 WIB

Pengemis Jalanan

Selasa, 19 Oktober 2021 - 16:45 WIB

Taman Fly Over

Selasa, 19 Oktober 2021 - 16:41 WIB

Rekreasi Pantai

Berita Terbaru