Petani Lampung Mulai Melirik Cara Baru Kendalikan Hama
Antara racun kimia dan harmoni ekosistem
berandalappung.com — Pringsewu, bagi sebagian besar petani di Desa Tritunggal Mulya, Kecamatan Adiluwih, Pringsewu, pestisida adalah “jawaban cepat” atas serangan hama. Botol-botol cairan kimia itu mudah dibeli di kios pertanian, dan efeknya terlihat dalam hitungan jam ulat dan kutu mati, daun tanaman kembali segar.
Namun, kecepatan itu datang dengan harga mahal. “Kalau telat semprot dua hari saja, tanaman sudah habis,” kata Sukarmin, 48 tahun, anggota Kelompok Tani Setia Bakti. Ia mengaku sudah bertahun-tahun menggantungkan nasib panennya pada pestisida kimia. Biaya produksi pun membengkak, sementara hasil panen tidak selalu sebanding.
Kebiasaan inilah yang coba digoyang oleh tim pengabdian masyarakat Jurusan Proteksi Tanaman Universitas Lampung. Pada tanggal 26 Juli 2025, mereka mengadakan penyuluhan bertema Pengelolaan Hama dan Penyakit Tanaman Berbasis Ekologi.
Dipimpin Dr. Puji Lestari, SP, M.Si., bersama Dr. Yuyun Fitriana, SP, MP, Selvi Helina, M.Si., dan Dr. Ivayani, SP, M.Si., tim ini membawa pesan: ada cara lain yang lebih ramah lingkungan, lebih murah dalam jangka panjang, dan tak merusak tanah.
Metode ini ekologi memanfaatkan musuh alami predator, parasitoid, hingga jamur entomopatogen untuk mengendalikan populasi hama. Salah satu strategi yang diperkenalkan adalah pembangunan refugia, lahan tepi yang ditanami bunga kenikir, bunga kertas, dan bunga matahari. Tanaman berbunga ini menarik serangga bermanfaat yang menjadi musuh alami hama.
“Pestisida tidak kami larang, tapi letakkan sebagai pilihan terakhir,” kata Puji Lestari. Dikatakannya, penggunaan pestisida yang tak terkendali justru mematikan musuh alami, membuat populasi hama melonjak kembali, dan memicu siklus ketergantungan yang sulit diputuskan.
Para sejarawan senior yang hadir, seperti Prof.Dr.Ir. FX Susilo, M.Si., dan Prof.Dr.Ir. I Gede Swibawa, MS, mengingatkan bahwa pola semprotan massal dengan dosis tinggi bukan hanya membunuh hama, tapi juga meracuni tanah, udara, dan bahkan merugikan kesehatan petani itu sendiri.
Meski terdengar meyakinkan, mengubah kebiasaan petani bukanlah hal yang mudah. “Kalau pakai cara alami, hasilnya tidak langsung terlihat,” ujar Sukarmin ragu-ragu. Ia mengaku butuh bukti nyata di lapangan sebelum benar-benar beralih.
Tantangannya adalah metode ekologi yang membutuhkan kesabaran, konsistensi, dan kolaborasi antarpetani. Namun jika berhasil, para penyelam yakin, hasilnya akan melampaui pemulihan ekosistem, biaya produksi turun, dan pangan yang dihasilkan lebih aman.
Pertanyaannya, beranikah para petani di Lampung keluar dari zona nyamannya? Sebab, seperti diingatkan Puji Lestari, “Kalau terus memanfaatkan racun, suatu hari tanah ini akan lelah, dan saat itu, kita tak lagi punya pilihan.”
Editor : Alex Buay Sako