Lebaran di Kota Bumi: Antara Cinta dan Tugu Payan
oleh: Prof. Admi Syarif, PhD. Guru besar Unila dan tukang tulis
berandalappung.com- Pagi pertama Syawal tahun ini terasa berbeda. Matahari seolah lebih hangat, langit lebih biru, dan angin berembus sejuk. Di kursi depan mobil, aku duduk di sebelah Yulia—perempuan yang tiga puluh tahun lalu kupersunting.
Kini, kembali kami mudik bersama ke kampung halamannya,untuk bersilaturahmi lebaran dan berziarah di Kota Bumi, Lampung Utara. Perjalanan ke Kota Bumi, terasa seperti menyusuri kisah masa lalu ketika awal-awal perkenalan —, tentang merajut cinta yang telah menyatukan kami, tapi dua keluarga besar.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Memasuki gerbang Kota Bumi, kami disambut oleh kemegahan Tugu Payan Mas, sebuah monumen yang berdiri tegak di tengah simpang utama kota.
Payan dalam bahasa Lampung berarti tombak—senjata tradisional masyarakat Suku Abung yang mendiami wilayah ini.
Dengan demikian nama tugu “Payan Mas” berarti tugu “Tombak Emas”. Tugu ini terletak di tengah perempatan Jalan Jenderal Soedirman dan dibangun pada masa pemerintahan Bupati Zainal Abidin.
Tugu itu memancarkan aura keberanian, kehormatan, dan keteguhan. Di puncaknya, sembilan tombak emas menjulang, mewakili sembilan marga besar Pepadun di Lampung Utara: Buay Nyunyai, Buay Unyi, Buay Subing, Buay Nuban, Buay Anek Tuho, Buay Kunang, Buay Beliuk, Buay Selagai, dan Buay Nyerupo. Desain Tugu Payan Mas menampilkan sembilan payan (perisai) yang melambangkan sembilan Marga Pepadun di Lampung Utara (Abung Siwo Migo),
Di sekitar tugu, terdapat tulisan besar “KOTABUMI BETTAH”, yang merupakan akronim dari “Kotabumi Bersih, Elok, Tentram, Taqwa, Aman, Hidup”. Saya sengaja meminta sang pujaan hati untuk berhenti sejenak untuk mengambil photo tugu payan yang indah ini.
Saya bercerita kepada sang pujaan hati, cerita papah dulunya nama kota ini bukanlah Kota Bumi, tetapi Kuto Bumei. Kuto Bumei adalah bahasa Lampung yang berarti Pagar Bumi (Kuto – Pagar). Tidak jelas memang, tapi saya pikir ini mungkin saja, karena Kuto Bumei lebih memiliki makna yang mendalam.
“Tugu Payan itu seperti cinta kita ya.” ujarku sekenanya kepada sang pujaan hati yang sedang menyetir.
“Kokoh berdiri, indah, ada cerita, dan penunjuk arah”, tambahku.
Beberapa bulan lalu, Lampung Utara baru saja mendapatkan Bupati baru, Dr. Ir. Hamartoni Ahadis, M.Si., Beliau adalah sahabat saya ketika bersama sebagai anggota Dewan Riset Daerah Lampung, saat ia menjadi Kepala Bakitbangda Provinsi Lanpung. Doktor Ilmu Lingkungan jebolan Universitas Lampung tahun 2023 ini adalah putra Daerah Lanpung Utaar, lahir di Kotabumi pada 9 Februari 1964.
Dalam kariernya, Dr. Hamartoni Ahadis pernah menjabat berbagai posisi penting, antara lain: Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Lampung Utara, Kepala Bappeda Lampung Utara, Sekretaris Daerah Lampung Utara, Kepala Inspektorat Provinsi Lampung dan terakhir Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Lampung, sebelum purba tugas tahun 2024. Harapan digantungkan kepada beliau untuk menjadikan Lampung Utara yang lebih mahu.
Kami tiba di rumah mertua, disambut hangat keluarga dan aroma opor ayam dan sop. Setelah bersilaturahmi, kami pergi ziarah ke makam almarhum ayah dan umi, di konpleks Masjid Agung. Ayah dikenal sebagai veteran pejuang kemerdekaan asal Lampung, dengan pangkat terakhir Sersan Mayor. Saat wafat pemerintah dan legiuin Veteran meminta beliau dimakamkan di Tanan Makam Pahlawan, namun ia telah memberi amanah untuk dimakankan di halaman masjid Agung.
Masih selalu terkenang cerita-cerita beliau saat menjadi tentara pelajar dan berjuang untuk kemerdikaan Indonesia. Semoga beliau berdua husnul khotimah. Aamin YRA.
Penulis : Prof. Admi Syarif, PhD
Editor : Hengki Padangratu