Bandar Lampung (berandalappung.com) – Pengamat politik Universitas Muhammadiyah Lampung (UML) Candrawansyah mengungkapkan kekhawatirannya terkait praktik politik uang dan ketidaknetralan Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam pemilihan kepala daerah di Provinsi Lampung.
Menurutnya, Lampung kerap menjadi sorotan dalam hal ini, dengan pemilihan kepala daerah tahun 2014 dan 2019 yang sarat akan politik uang.
Ia menyoroti bahwa netralitas ASN yang seharusnya menjadi aturan baku, justru dilanggar secara meluas di berbagai kabupaten dan kota di Lampung.
Hal ini mengindikasikan lemahnya pengawasan dan implementasi hukum terkait politik uang dan keterlibatan ASN dalam politik praktis.
Candrawansyah mengutip Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Undang-undang ini mengatur sanksi tegas terhadap pelaku politik uang, baik pemberi maupun penerima.
Dalam Pasal 187A, dijelaskan bahwa siapapun yang memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih dengan tujuan memengaruhi pilihan politik, dapat dikenai hukuman penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan, serta denda antara Rp200 juta hingga Rp1 miliar.
Namun, Candrawansyah menekankan bahwa hukuman yang ada masih belum efektif dalam menyentuh aktor utama di balik praktik politik uang tersebut.
“Biasanya, rakyat kecil yang terlibat sebagai pelaksana di lapangan yang menjadi korban, sementara aktor intelektual dan pemodal besar jarang tersentuh oleh hukum,” ungkapnya pada Senin, (7/10/2024).
Selain politik uang, netralitas ASN juga menjadi perhatian serius. Pasal 70 UU 10 Tahun 2016 mengatur bahwa ASN, anggota kepolisian, TNI, serta kepala desa dan perangkat desa dilarang terlibat dalam kampanye politik.
Jika terbukti melanggar, calon kepala daerah yang terlibat dapat dikenai hukuman penjara antara satu hingga enam bulan dan/atau denda antara Rp600 ribu hingga Rp6 juta, sebagaimana tertuang dalam Pasal 189.
Meski regulasi sudah cukup ketat, Candrawansyah menilai bahwa implementasinya masih jauh dari harapan.
“Sanksi yang ada jarang menyentuh aktor-aktor besar di balik pelanggaran ini. ASN biasanya hanya menjalankan perintah dari atasan atau aktor politik tertentu,” tambahnya.
Ia menekankan pentingnya pendidikan politik bagi masyarakat serta peran politikus yang jujur dan berintegritas.
Dengan demikian, makna substantif dari demokrasi dapat terwujud, sejalan dengan aturan yang telah ditetapkan.