berandalappung.com— Di balik tubuh mungilnya yang hanya berukuran sekitar 5 cm, katak racun emas (Phyllobates terribilis) menyimpan senjata mematikan yang membuatnya dijuluki salah satu hewan paling beracun di dunia. Hewan amfibi ini ditemukan di hutan hujan tropis pantai Pasifik Kolombia dan terkenal karena warna kuning cerahnya yang mencolok—sebuah peringatan alami bagi predator agar menjauh.
Yang membuat katak ini begitu mematikan adalah racun yang melapisi kulitnya. Racun tersebut berupa senyawa alkaloid yang dikenal sebagai batrachotoxin. Hanya dengan satu miligram racun ini, diperkirakan cukup untuk membunuh 10 hingga 15 manusia dewasa, atau sekitar dua ekor gajah. Racun ini bekerja dengan cara mengganggu sistem saraf, membuat otot-otot tubuh, termasuk jantung, tidak bisa berkontraksi.
Menariknya, di alam liar, katak ini mendapatkan toksinnya dari makanan—serangga kecil seperti semut atau kumbang beracun yang tidak ditemukan dalam penangkaran. Oleh karena itu, katak racun emas yang dibesarkan di laboratorium biasanya tidak mengandung racun.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Masyarakat adat Kolombia telah lama mengetahui bahaya racun ini. Mereka memanfaatkannya untuk melapisi ujung panah berburu mereka, sehingga cukup satu tembakan untuk melumpuhkan mangsa dari kejauhan.
Meskipun mematikan, katak racun emas kini terancam punah akibat hilangnya habitat hutan hujan tropis dan perdagangan ilegal satwa eksotis. Perlindungan terhadap spesies ini sangat penting, bukan hanya untuk kelangsungan hidupnya, tetapi juga untuk memahami potensi senyawa racun ini dalam pengembangan obat-obatan di masa depan.
Dengan tubuh mungil dan tampilan mencolok, katak racun emas menjadi pengingat bahwa kekuatan luar biasa kadang tersembunyi dalam wujud yang paling kecil dan tampaknya tak berbahaya.
**Referensi:**
1. National Geographic – Golden Poison Frog
https://www.nationalgeographic.com/animals/amphibians/facts/golden-poison-frog
2. Smithsonian’s National Zoo & Conservation Biology Institute
https://nationalzoo.si.edu/animals/g
Editor : Hengki Padangratu