Hari-hari ini ada suatu negeri dihebohkan dengan adanya suatu peristiwa di nama ada suatu lembaga yang di dirikan atau dibuat untuk menjaga konstitusi negeri tersebut dari kesewenang-wenangan dari para penguasa justru menjadi suatu lembaga yang merobohkan konstitusi dengan alasan bahwa putusan tersebut dibuat untuk menegakan konstitusi.
Lembaga atau orang yang beri amanat dilembaga di negeri tersebut menggangap bahwa masyarakat negeri adalah orang-orang bodoh atau pura-pura tidak tahu bahwa keputusannya tersebut dapat merubuhkan masa depan negeri ini hanya untuk kepentingan syahwat kekuasaan seseorang atau sekelompok orang untuk mempertahankan atau melanjutkan kekekuasaan.
Sebenarnya negeri ini mungkin sudah terjangkit penyakit kepura-puraan yang sudah “kronis”, mulai dari rakyat. Akademisi, politisi, dan dari pemimpin yang paling rendah sampai yang yang paling tinggi di negeri ini. Semua prilaku dilakukan dengan penuh sandiwara dan kepura-puraan atau tidak sebenarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kepura-puraan itu makin terasa manakala kita melihat banyak hal di negeri ini. Paling tidak, saya mencatat kepura-puraan itu dalam beberapa hal, yakni:
Pertama, negeri ini pura-pura menganut Negara hukum. Padahal dalam kenyataannya, hukum atau alat penegak hukum dipakai sebagai alat kekuasaan untuk mempertahankan kekuasaan atau digunakan untuk membunkam orang atau kelompok orang yang tidak sejalan atau berbeda pendapat dengan penguasa. Rakyat digusur dari tanah tempat tinggalnya dengan alasan investasi atau pembangunan
Kedua, negeri pura-pura menganut sistem Demokrasi Tapi dalam kenyataannya, pratek demokrasi tidak dijalankan secara subtansial dimana ada keputusan lembaga di negeri yang membatasi untuk partai politik mengajukan calon presiden dan wakil presiden, dimana partai politik yang bisa mengajukan adalah partai politik yang mempunyai nilai ambang batas parlemen padahal di dalam konstitusi tidak ada batas parlemen, diperguruan tinggi untuk memilih pimpinan perguruan tinggi dibuat semacam pemilihan tetapi yang terjadi justru menteri yang menentukan kalau menteri tidak setuju atau tidak berkenan jangan harap akan dipilih atau diangkat menjadi pimpinan perguruan tinggi walaupun menang dalam pemilihan di tingkat perguruan tinggi.
Ketiga, kini era dimana banyak pejabat suka sekali dengan pencitraan. Itu kan juga pura-pura toh. Pura-pura peduli dengan rakyat kecil atau orang miskin dan terlantar. Pura-pura hidup sederhana. Pura-pura baik dan dermawan. Pura-pura akrab dan perhatian dengan rakyat bawah.
Pokoknya pura-pura alias sebenarnya tidak riil. Aslinya tidaklah begitu. Wong hanya pura-pura. Apalagi menjelang Pilpres, pileg dan pilkada 2024. Banyak calon legislatif, Presiden, dan kepala daerah yang hidup dalam kepura-puraan. Tapi biasanya setelah Pemilu usai, mereka akan kembali ke wujud aslinya.
Keempat, pura-pura memberantas korupsi. Tapi kenyataan budaya korupsi makin subur mulai kepala desa sampai tingkat lembaga tinggi negeri ini serta mulai dari yang tidak berpendidikan sampai tingkat Pendidikan yang paling tinggi. Lembaga yang dibentuk untuk melakukan pemberantasan korupsi justru jadi lembaga pemerasan korupsi.
Kelima, pura-pura, pejuang demokrasi, tapi kenyataanya penghianat demokrasi, mengunakan segala cara untuk mempertahankan atau memperoleh kekekuasaan, dengan menghalalkan segala cara. Mengesampikan etika dan marolitas Demi tercapainya tujuan
Keenam, pura-pura pejuang Hak asasi manusia, tapi kenyataanya, melakukan pelanggaran atau kejahatan kemanusian, bahkan membiarkan atau seperti melupakan penyelesaian persoalan-persoalan Hak asasi manusia yang pernah terjadi di negeri ini, padahal penyelesaian persoaaln kejahatan hak asasi manusia merupakan janji kalau memimpin negeri ini.
Ke tujuh, pura-pura tidak punya ambisi politik, tapi kenyataannya, mengunakan lembaga-lembaga negeri ini untuk kepentingan dirinya, keluarga dan kelompoknya dengan mengunakan segala cara tanpa berpikir bahwa cara yang dilakukan jauh dari moralitas dan etika masyarakat yang beradab yang penting maksud dan tujuan tercapai.
Ke delapan, Pura-pura, penjaga persatun dan kesatuan bangsa, tapi kenyataanya, melakukan pecah-belah, adu domba sesama anak negeri demi kekuasaan
Ke sembilan, pura-pura beragama, tapi kenyataan melakukan perbuatan-perbuatan yang jauh dari nilai-nilai yang dianut, demi memperoleh kekuasaan melakukan fitnah dan Informasi bohong terhadap lawan-lawan politik.
Kesepuluh, pura-pura negeri ekonomi meroket, tapi kenyataanya Terakhir, hari-hari belakangan ini, mungkin makin banyak saja orang yang pura-pura kenyang. Padahal sebenarnya sangat lapar karena tidak punya duit lagi untuk beli sembako yang harganya makin melambung tinggi. Apalagi, angka pengangguran alias orang tak punya kerja makin meningkat..
Begitu banyak ternyata kepura-puraan di negeri ini, tidak tahu lagi apakah ini suatu kebenaran atau suatu kepura-puraan. Yang lebih tak masuk logika sehat masyarakat i tatkala ketiga kepura-puraan yang disebutkan di atas terjadi, malah si pemimpin yang seharusnya mengambil kebijakan malah pura-pura tidak mengetahui.
Budaya kepura-puraan yang telah menjadi penyakit yang “kronis” disebakan karena masyarakat negeri ini sudah diajarkan untuk selalu berpura-pura atau bersandiwara dalam pergaulan bermasyarakat sehingga terus menerus dipertahankan sampai menjadi pemimpin di negeri ini.
Sebenarnya sangat menyebalkan, menjijikkan sekaligus memuakkan hidup di tengah-tengah sebuah negeri yang bernama negeri pura-pura tapi nyata. Bentuk sebuah negerinya nyata keberadaannya, dilengkapi dengan segala perangkatnya layaknya kehidupan sebagai sebuah negara. Tapi di dalamnya penuh dengan kepura-puraan.
Sayangnya, saya dan pasti banyak orang di negeri ini tidak punya pilihan kecuali tetap tinggal dan menetap di negeri yang penuh dengan kepura-puraa ini.
Dengan tidak ada pilihan maka Mari kita nikmati saja hidup dalam kepura-puraan ini. Kita berharap negeri ini mendapatkan hidayah atau petunjuk dari Tuhan Yang Maha Esa agar di masa mendatang, kesejahteraan dan keadilan dapat terwujud di negeri ini sehingga nasib kita lebih baik. Negeri kita lebih baik jauh dari kepura-puraan . Amin…YRA
Oleh : DR. Budiyono
(Dosen Hukum Tata Negara Universitas Lampung)