Ardito Gagal Tampil Sebagai Pemimpin, Terjebak Bayang-Bayang Sang Ayah
berandalappung.com—Bandar Lampung, di tengah harapan besar pasca pilkada, kepemimpinan Ardito Wijaya sebagai Bupati Lampung Tengah justru mengecewakan. Alih-alih menunjukkan gebrakan, ia malah larut dalam kontroversi, simbolisme murahan, dan dugaan nepotisme.
Bandingkan dengan ayahnya, Achmad Pairin, yang dikenal egaliter dan beradab selama menjabat Bupati dan Wali Kota.
Kekecewaan bukan hanya datang dari masyarakat akar rumput, tapi juga dari kalangan elite politik. Tokoh senior Lampung, Alzier Dianis Thabranie, terang-terangan menyebut gaya kepemimpinan Ardito jauh dari karakter sang ayah. “Pairin itu pekerja keras, punya akar sosial. Ardito terkesan arogan dan minim empati. Rakyat memilih dia, tapi ia malah tidur saat rapat penting,” kritik Alzier kepada awak medai HI, Minggu (20/7).
Potret Ardito yang tertidur saat RDP dengan Balegnas DPR RI menjadi simbol paling telanjang dari kepemimpinan yang tak hadir. Meski ia mengakui tertidur “hanya dua tiga menit” dan telah meminta maaf, publik terlanjur menilai Ardito tak cukup serius.
Tak hanya itu. Penunjukan iparnya sebagai Sekda Lampung Tengah memperkuat tuduhan bahwa birokrasi di bawah Ardito dipenuhi aroma nepotisme. “Kalau jabatan strategis hanya diberikan pada kerabat, bagaimana bisa bicara pelayanan publik yang profesional?” kata Panji Nugraha, Sekjen Laskar Lampung, yang mengirim protes resmi atas penunjukan tersebut.
Di sisi lain, publik juga mencatat sederet kegagalan dalam 100 hari awal pemerintahannya:
1. Seremoni Garing, Substansi Hilang
Bersih-bersih taman dan retreat birokrasi justru jadi prioritas di saat infrastruktur jalan rusak dan tenaga medis minim di puskesmas. “Itu panggung simbolik, bukan kebijakan nyata,” kritik Rosim Nyerupa, peneliti dari Puskada Lampung Tengah.
2. Janji Politik yang Menyusut
Dari 30 janji kampanye, mayoritas belum jalan. Program PAKEM (Ardito-Koheri Mengajar) jadi satu-satunya yang terealisasi, tapi hanya sebatas pencitraan. Tak ada gebrakan di isu besar seperti kualitas guru dan digitalisasi sekolah.
3. Jalan Rusak dan Janji Rp 400 Miliar
Target perbaikan jalan senilai Rp 400 miliar per tahun tampak ambisius tanpa dukungan pendanaan. Hingga kini, progres nihil. Strategi pendanaan alternatif juga tidak jelas.
4. Konflik Sosial Gunung Agung dan Lemahnya Respons
Ketika kekerasan meledak di Kampung Gunung Agung akibat konflik bansos, Ardito absen. Pemerintah tak hadir saat konflik meruncing. Akibatnya, jatuh korban jiwa.
5. Pemotongan Insentif Aparat Desa
Alih-alih mendekatkan diri ke akar rumput, pemerintah justru memangkas tunjangan kepala kampung, sekretaris, BPK, hingga Linmas. Ini dianggap kontra-produktif terhadap janji peningkatan kesejahteraan desa.
6. Nepotisme dan Transaksi Jabatan
Seleksi Sekda yang diduga sarat rekayasa birokrasi memperkuat kesan bahwa Lampung Tengah sedang bergerak menjauh dari prinsip meritokrasi. Proses tak transparan mencederai nilai demokrasi lokal.
7. Demokrasi Lokal yang Tergerus
Ketika birokrasi dikendalikan lewat relasi keluarga dan transaksi, kepercayaan publik merosot. “Demokrasi kehilangan jiwanya,” kata Rosim. Pemerintah berubah jadi tontonan elitis, jauh dari interaksi rakyat.
8. PDIP Tolak Utang Daerah
Rencana Ardito mengajukan pinjaman daerah ditolak oleh DPC PDIP. Ketua DPC, Sumarsono, menyebut rencana itu prematur dan membebani fiskal daerah. “Belum ada urgensi mendesak,” tegasnya.
Dalam analisis akademik, Ardito Tak Punya Desain Kebijakan
Dosen Hukum Universitas Lampung, Dr. Budiyono, M.H, menyebut kepemimpinan Ardito lemah dalam desain dan arah kebijakan. “Terlihat ia tak punya roadmap pembangunan jangka pendek maupun jangka menengah. Semua mengandalkan gimmick dan simbolisasi.”
Menurut Budiyono, pemimpin daerah hari ini dituntut adaptif dan solutif, bukan hanya tampil di media sosial. “Pemimpin tak bisa sekadar warisi popularitas. Ia harus bangun legitimasi berbasis kinerja, bukan nostalgia,” tutupnya.
Dapat diambil kesimpulan, Ardito Wijaya sedang berjalan di atas garis tipis antara harapan dan kekecewaan. Ketika janji berubah jadi basa-basi, dan birokrasi dikendalikan lewat nepotisme, rakyat hanya bisa berharap waktu segera memperbaiki arah. Jika tidak, masa depan Lampung Tengah bisa berakhir sebagai repetisi dari kegagalan politik yang sama.
Editor : Alex Buay Sako
Sumber Berita: heloindonesia.com