Bandar Lampung (berandalappung.com) – Di sebuah kampung kecil bernama Negri di Atas Awan, Pilkada tahun 2024 adalah peristiwa besar.
Semua orang berkumpul di warung, di ladang, bahkan di pengajian malam genggap gepita nenyambut pesta demokrasi rakyat segera akan dimulai.
Ada banyak calon yang akan mendaftar, akan tetapi karena tiket untuk mengusung bakal calon kepala kampung cukup besar, maka hanya dua orang yang lolos tahap admistrasi dua calon tersebut Bernama Pak Zaki dan Pak Yayi. Keduanya bersaing ketat:
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Pak Zaki, seorang guru yang dikenal jujur sangking jujurnya, maka kelompok priyayi dan langitan mendukung beliau untuk maju, sedangkan Pak Yayi, seorang pengusaha kaya yang baru pindah ke desa beberapa tahun sebelumnya Pak Yayi dengan hidup lebih berkecukupan, maka kaum hedonis mendukung beliau.
Pak Zaki dikenal karena hidup sangat sederhana dan bersahaja serta dikenal sebagai penolong juga tidak sombong dengan kerja kerasnya membangun pendidikan di desa.
Ia sering membiayai sekolah anak-anak miskin dengan gajinya sendiri.
Sebaliknya, Pak Yayi membawa gaya serta pola hidup kota besar.
Pak Yayi dengan perlente dan berkecukupan serta terkenal foya-foya itu dipakai sebagai cara memperkenalkan dirinya di kampung Negri Di Atas Awan.
Ia sering muncul di acara-acara dengan rombongan besar, membagi-bagikan sembako, dan menjanjikan perubahan besar.
Minggu-minggu menjelang pemilihan, Kampung Negri Di Atas Angin terasa berbeda.
Warga tiba-tiba mendapatkan “amplop putih” berisi uang.
Banyak yang mengakuinya datang dari tim Pak Yayi.
Beberapa orang merasa risiko, tapi tak sedikit yang menerimanya dengan senang hati.
Bahasa tim pemenangan Pak Yayi ini bukan Money Politik tapi tanda sayang serta perhatian pemimpin untuk berbuat bersama, tapi saya yakin ini Cuma ngenakin kuping aja.
Sementara tim pemenangan “Pak Zaki nggak ngasih apa-apa. Kita dapat apa kalau dia menang?” kata Bu Siti, seorang pedagang sayur.
“Tapi uang itu… bukan berarti Pak Yayi peduli. Itu cuma buat beli suara kita,” jawab Pak Jaya, tetangga sebelah.
“Ya, tapi siapa yang tahu kalau kita ambil uangnya tapi tetap pilih Pak Zaki?” ujar Bu Siti lagi, tertawa kecil.
Namun kenyataannya, amplop-amplop yang berseliweran ini seperti mempunyai magnet serta sihir seperti ilmu
“kresek merah, eh pesulap merah dan om Dedi Cobucer”.
Perlahan, dukungan terhadap Pak Yayi semakin kuat.
Janji-janji besar seperti tuak manis yang ia lontarkan di setiap kampanye terdengar begitu indah.
Jalan aspal baru, jaringan internet cepat, dan pasar modern untuk para pedagang kecil.
Di malam terakhir sebelum pemilihan, sebuah pesta besar diadakan di rumah Pak Yayi.
Musik dangdut menggema, nasi kotak disebarkan, dan seorang anggota berkemah berbisik kepada warga.
“Jangan lupa ya, besok pilih nomor dua.” Ketika hari pemilihan tiba, suara warga mengalir deras ke TPS.
Sebagian besar sudah tahu pilihan mereka, atau mungkin, sudah dipilih.
Malamnya, hasil perhitungan suara diumumkan. Pak Yayi menang dengan selisih besar.
Orang-orang memamerkan, kembang api meledak di langit Negri Di Atas Awan.
Pak Zaki hanya tersenyum kecil di rumahnya, menerima kekalahan di lapangan dada.
Namun, kemenangan Pak Yayi tidak semanis kelihatannya seperti gula-gula.
Seratus hari setelah dilantik, janji-janji mulai memudar.
Jalan-jalan yang dijanjikan tetap berlubang, pasar modern hanya ada dalam rencana, dan sembako tidak lagi dijual.
Orang-orang mulai sadar bahwa amplop-amplop itu hanyalah ilusi sementara.
Suatu sore, Pak Jaya duduk di warung, mengeluh kepada Bu Siti. “Kita sudah menjual suara kita.
Sekarang kita bayar harganya,” katanya dengan nada getir.
Bu Siti hanya mengangguk pelan, sambil menatap ke jalan desa yang tetap penuh debu.
Dan di suatu malam, saat Negri Di Atas Awan kembali tenang, Pak Zaki menulis di buku hariannya:
“Kekuasaan yang dibeli dengan uang akan selalu kehilangan nilai di hati rakyat.
Tapi rakyatlah yang harus belajar dari semua ini.” semoga ini tidak terjadi pada saat Pemilihan Kepala Daerah di Lampung pada 2024.
Penulis Hengki Irawan adalah Pengamat Pemberdayaan Masyarakat Lampung.