Bandar Lampung (berandalappung.com) – Pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024 di Provinsi Lampung mencatat fenomena menarik dengan tumbangnya sejumlah petahana, termasuk dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung.
Berdasarkan hasil quick count lembaga survei, gubernur petahana tertinggal jauh dari pesaingnya.
Pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Lampung (UML), Candrawansah, mengungkapkan bahwa kekalahan ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk kinerja yang tidak sesuai dengan ekspektasi masyarakat.
“Lambatnya pembangunan, kurang optimalnya pelayanan publik, atau kegagalan menyelesaikan isu-isu lokal sering memicu ketidakpuasan. Selain itu, calon baru yang menawarkan program atau visi yang lebih relevan dengan kebutuhan masyarakat mampu mengalihkan dukungan pemilih. Kandidat yang dianggap lebih segar dan inovatif sering kali menjadi daya tarik utama,” ujarnya pada Jumat (29/11/2024).
Faktor Kekalahan Petahana
Candrawansah juga menyoroti pentingnya strategi kampanye yang efektif dalam memenangkan Pilkada.
Ia mencatat sejumlah kelemahan yang sering menjadi batu sandungan bagi petahana:
Komunikasi yang Lemah: Hubungan kurang intensif dengan masyarakat menjadi salah satu penyebab turunnya dukungan.
Minim Pemanfaatan Media Sosial: Dengan pemilih Gen Z dan milenial yang signifikan, kurangnya strategi media sosial menjadi kelemahan besar.
Koordinasi Tim Sukses: Lemahnya koordinasi internal sering kali menggagalkan usaha kampanye secara keseluruhan.
Selain itu, Candrawansah menyoroti fenomena anti-incumbent di beberapa daerah.
Masyarakat yang merasa tidak puas dengan situasi terkini cenderung memilih pemimpin baru sebagai bentuk protes, meski kinerja petahana tidak sepenuhnya buruk.
Peran Perpecahan Internal Partai
Ia juga mencatat bahwa perpecahan internal partai pengusung menjadi faktor krusial yang berkontribusi terhadap kekalahan petahana.
“Ketika partai tidak solid mendukung calon, hanya sekadar formalitas tanpa diikuti struktur yang utuh, hasilnya tentu mengecewakan,” katanya.
Candrawansah menilai kekalahan dengan selisih suara signifikan mencerminkan tingkat ketidakpuasan masyarakat terhadap kepemimpinan petahana.
“Jika incumbent kalah dengan persentase yang jomplang, hal ini mencerminkan betapa masyarakat menginginkan perubahan besar,” pungkasnya.
Fenomena ini menegaskan bahwa keberhasilan dalam Pilkada bukan hanya soal popularitas, tetapi juga kemampuan memahami dan menjawab kebutuhan masyarakat dengan solusi nyata.