AKREDITASI DIAMBIL ALIH NEGARA: SOLUSI ATAU NOSTALGIA YANG MENJERUMUSKAN?

Avatar photo

- Jurnalis

Jumat, 23 Mei 2025 - 06:50 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

AKREDITASI DIAMBIL ALIH NEGARA: SOLUSI ATAU NOSTALGIA YANG MENJERUMUSKAN?

 

berandalappung.com — Jakarta, Suatu pagi yang muram di sebuah kampus swasta kecil di luar Jawa. Rektor memuat tumpukan dokumen akreditasi yang tidak diperiksa. Asesor tak datang-datang. Sistem pendaftaran ambrol. Dana untuk pelatihan pun nihil. “Kami hanya bisa menunggu,” katanya sambil lesu. Ini bukan cerita dari masa lalu. Tapi bisa jadi gambaran masa depan, jika wacana pengambilalihan akreditasi oleh negara benar-benar terjadi.

Lontaran wacana agar negara kembali menjadi pelaksana tunggal akreditasi pendidikan tinggi, seolah mengajak kita bernostalgia. Tapi ini bukan nostalgia yang manis, melainkan trauma kolektif yang nyaris kita kubur dalam-dalam: akreditasi yang stagnan, lembaga penilai yang menginginkan, dan mutu pendidikan yang diambil dengan penggaris seragam, tak peduli bentuk atau isi.

LAM vs Negara : Bukan Soal Siapa, TapiBagaimana.

Sejak Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi diteken, arah kebijakan sudah jelas: negara hadir sebagai pengatur dan pengawas, bukan pelaksana tunggal. Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM) dibentuk untuk menggantikan sistem tunggal BAN-PT dalam menilai program studi yang berkualitas. LAM-LAM ini bukan muncul tanpa alasan, mereka lahir karena kelelahan menghadapi satu lembaga yang harus menangani semuanya dari Sabang sampai Merauke.

Kini kita punya LAM TEKNIK untuk rekayasa, LAM PTKes untuk kesehatan, LAM EMBA untuk ekonomi dan bisnis, dan seterusnya. Lembaga-lembaga ini dibentuk agar penilaian lebih fokus, lebih memahami substansi, dan tentu saja lebih cepat. Di balik setiap LAM, ada komunitas ilmiah, asosiasi profesi, hingga jaringan internasional yang memperkuat standar satu sama lain.

Lalu mengapa wacana ini muncul kembali?

Alasan di balik wacana niat baik, potensi dampak buruk. Pemerintah berdalih ingin meringankan beban kampus kecil yang harus membayar biaya akreditasi. Sebuah niat yang tentu mulia. Tapi niat baik tanpa strategi yang tepat bisa berubah jadi langkah mundur.

Baca Juga :  Herleo Panji Beri Tips Agar Tidak Bosan Membaca Buku

Ingin meringankan beban? Bisa. Subsidi akreditasi, insentif untuk kampus daerah, atau skema afirmasi bisa dirancang tanpa harus membubarkan LAM. Menghapus LAM justru bertentangan dengan UU 12/2012, terutama Pasal 55 yang menekankan pentingnya lembaga akreditasi independen.

Apakah negara siap mengambil alih lagi semuanya? Data PDDIKTI 2023 mencatat lebih dari 31.000 program studi dan 4.500 perguruan tinggi. Apakah BAN-PT, dengan 9 orang anggota majelis dan staf segelintir, mampu mengulang peran lamanya? Sejarah mencatat, dulu BAN-PT bukan hanya kepayahan, tapi benar-benar kolaps dalam backlog penilaian yang mengular.

Mutu Tak Bisa Diukur Lewat Seragam, masalah terbesar dari akreditasi yang dikendalikan sepenuhnya oleh negara bukan hanya efisiensi. Tapi independensi. Ketika negara menjadi juri, wasit, sekaligus pemain, ke mana lagi publik bisa mengadu jika terjadi kekeliruan?

Akreditasi membutuhkan ruang independen agar saling dijaga dengan jernih, bukan berdasarkan tekanan birokrasi atau motif politis. Banyak LAM di Indonesia bahkan sudah menjalin kerja sama dan benchmark dengan lembaga akreditasi internasional. Prosesnya tidak hanya lebih profesional, tetapi juga transparan dan berbasis substansi keilmuan.

Dunia punya cerita lain, Prancis memang mengandalkan HCERES untuk evaluasi pendidikan tinggi tapi ingat, lembaga ini independen penuh, meski dibiayai negara. Arab Saudi punya NCAAA yang sangat kuat dan profesional. Tapi mereka juga punya anggaran jumbo dan jumlah institusi yang jauh lebih sedikit dari Indonesia.

Sementara itu, negara-negara seperti Vietnam mulai beralih ke multi-lembaga. Tiongkok sukses dengan model sentralistik, namun jangan lupa bahwa mereka didukung oleh birokrasi raksasa dan kultur kontrol negara. Apa kita punya semua itu?

Baca Juga :  Implementasi Literasi Digital Thomas Amirico Ajak Guru Bangkit, Tak Sanggup Silahkan Mundur

Kita Butuh Negara, Tapi Bukan Jadi Pemain.

Negara harus tetap hadir. Tapi sebagai regulator dan penyedia dukungan. Bukan eksekutor tunggal. Pemerintah dapat membiayai sebagian besar proses akreditasi untuk kampus kecil, dapat menetapkan standar nasional, dan tetap mengawasi kerja LAM melalui BAN-PT.

Justru saat ini, peran BAN-PT bisa lebih strategis sebagai meta-akreditator: menyalakan LAM, memenuhi standar, memastikan ekosistem penjaminan saling berjalan adil dan tangguh. Bukan kembali ke peran lama sebagai satu-satunya penilai yang spesimen.

LAM TEKNIK, misalnya, lewat studinya dalam tiga tahun terakhir, telah menunjukkan adanya jurang mutu pendidikan tinggi antar wilayah Indonesia. Fakta ini telah mereka serahkan ke pemerintah, asosiasi profesi, dan para pemangku kepentingan. Ini jenis kolaborasi yang tak bisa lahir dari lembaga yang terjebak dalam tugas administratif massal.

Jangan Salah Pilih Masa Depan

Kalau LAM punya kekurangan, mari kita benahi. Tapi membubarkannya hanya karena ingin menghemat, atau karena nostalgia pada masa lalu yang gagal, jelas bukan jalan keluar. Akreditasi bukan sekadar administrasi. Ia adalah benteng saling pendidikan. Dan benteng itu tak bisa dibangun dengan satu tangan saja.

Negara memang harus hadir. Tapi sebagai penjaga wasit, bukan sebagai pemain utama yang ingin kembali menguasai panggung. Kita sudah terlalu jauh melangkah untuk mundur karena kerinduan pada sistem yang pernah gagal.

Mutu pendidikan tinggi adalah taruhan masa depan bangsa. Dan masa depan, tidak boleh ditentukan oleh romantisme masa lalu.

Editor : Alex Buay Sako

Sumber Berita: Komasiana

Berita Terkait

Implementasi Literasi Digital Thomas Amirico Ajak Guru Bangkit, Tak Sanggup Silahkan Mundur
Disdikbud Lampung Gandeng Bimbel untuk Dongkrak APK Perguruan Tinggi
Selamat, STIES ALIFA Pringsewu Resmi Miliki Program Magister Bisnis Syari’ah
Ironi Pendidikan di Ujung Pulau: Guru SMKN Tabuan Hidup dari Honor Rp150 Ribu
Menag RI Resmikan Fakultas Psikologi Islam dan Saintek Di UIN RIL
Finalisasi Bimtek SISTER, SINTA, dan Google Scholar di Alifa Institute
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lamapung Akan Melakukan Evaluasi Besar-besaran
Percepat Program Gubernur, Thomas Amirico Gelar Pembinaan Kepala Sekolah SMA/SMK Wilayah II
Berita ini 52 kali dibaca

Berita Terkait

Selasa, 23 September 2025 - 17:52 WIB

Disdikbud Lampung Gandeng Bimbel untuk Dongkrak APK Perguruan Tinggi

Sabtu, 20 September 2025 - 16:30 WIB

Selamat, STIES ALIFA Pringsewu Resmi Miliki Program Magister Bisnis Syari’ah

Sabtu, 13 September 2025 - 20:26 WIB

Ironi Pendidikan di Ujung Pulau: Guru SMKN Tabuan Hidup dari Honor Rp150 Ribu

Sabtu, 13 September 2025 - 09:50 WIB

Menag RI Resmikan Fakultas Psikologi Islam dan Saintek Di UIN RIL

Minggu, 31 Agustus 2025 - 18:37 WIB

Finalisasi Bimtek SISTER, SINTA, dan Google Scholar di Alifa Institute

Berita Terbaru

Pemerintahan

BMBK Lampung Berbenah, 29 ASN Rotasi Serentak di Era Taufiqullah

Jumat, 10 Okt 2025 - 21:06 WIB

Pemerintahan

Respon Keluhan Visum Bayar di RSUDAM

Rabu, 8 Okt 2025 - 14:11 WIB