Berandalappung.com – Keputusan mengenai jadwal pelantikan kepala daerah hasil Pilkada Serentak 2024 menjadi perbincangan hangat, terutama setelah adanya perubahan jadwal yang diumumkan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Awalnya, berdasarkan hasil rapat antara DPR, Kemendagri, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pada 21 Januari 2025, pelantikan kepala daerah yang tidak bersengketa di Mahkamah Konstitusi (MK) dijadwalkan pada 6 Februari 2025.
Namun, Kemendagri kemudian mengumumkan bahwa pelantikan kepala daerah akan diundur ke rentang tanggal 17–20 Februari 2025.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Menteri Dalam Negeri, keputusan ini bertujuan untuk mengakomodasi hasil putusan dismissal di MK, di mana permohonan sengketa yang tidak memenuhi syarat akan ditolak atau tidak dapat diterima.
Pemerintah memperkirakan proses ini membutuhkan waktu sekitar 12 hingga 14 hari setelah ketetapan hasil perolehan suara dari KPU atau setelah pembacaan putusan MK.
Potensi Mengabaikan Putusan Mahkamah Konstitusi
Meskipun Kemendagri memiliki alasan administratif untuk mengubah jadwal pelantikan, langkah ini berpotensi bertentangan dengan ketentuan hukum yang telah ditetapkan MK.
Putusan MK Nomor 27/PUU-XXII/2024, khususnya dalam pertimbangan hukum poin [3.17.2], secara jelas menyatakan bahwa pelantikan kepala daerah harus dilakukan setelah selesainya seluruh sengketa hasil pemilihan di MK.
Dalam pertimbangan yang sama, MK juga menegaskan bahwa pelantikan kepala daerah secara serentak tetap harus dilakukan, kecuali untuk daerah yang mengalami Pemungutan Suara Ulang (PSU), Pemilihan Ulang, atau Penghitungan Suara Ulang berdasarkan putusan sengketa hasil Pilkada di MK.
Dengan demikian, setiap pelantikan yang dilakukan sebelum seluruh sengketa selesai berisiko melanggar prinsip kepastian hukum.
Selain itu, dalam poin [3.13.3] putusan yang sama, MK menegaskan bahwa pertimbangan hukum dalam sebuah putusan memiliki kekuatan hukum mengikat (ratio decidendi), bukan hanya amar putusan.
Artinya, bukan hanya ketentuan dalam amar putusan yang harus dipatuhi, tetapi juga pertimbangan hukumnya.
Jadwal yang Tepat Berdasarkan Regulasi
Berdasarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 1 Tahun 2025, sengketa hasil Pilkada baru akan selesai pada 24 Februari 2025, dengan salinan putusan atau ketetapan disampaikan kepada pihak terkait pada 26 Februari 2025.
Oleh karena itu, penyelesaian sengketa hasil Pilkada tidak dapat hanya mengacu pada putusan dismissal yang dijadwalkan pada 4–5 Februari 2025.
Jika pelantikan tetap dipaksakan sebelum seluruh proses sengketa selesai, kecuali untuk daerah yang mengalami PSU, maka pemerintah berpotensi melanggar putusan MK dan membuka celah gugatan hukum dari kepala daerah definitif yang masih menjabat.
Hal ini bisa menimbulkan polemik terkait pemotongan masa jabatan mereka, yang seharusnya berlangsung selama lima tahun penuh.
Menjaga Stabilitas Pemerintahan dan Kepatuhan Hukum
Pemerintah seharusnya tidak terburu-buru dalam menetapkan tanggal pelantikan kepala daerah terpilih.
Sebagai pemegang otoritas eksekutif, pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan yang diambil selaras dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Penundaan pelantikan hingga seluruh sengketa selesai juga tidak akan mengganggu jalannya pemerintahan daerah secara signifikan.
Hal ini karena APBD dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) tahun 2025 sudah disahkan, sehingga transisi kepemimpinan dapat berlangsung lebih tertib dan sah secara hukum.
Di sisi lain, kepala daerah terpilih juga harus bersabar. Pelantikan bukan hanya soal waktu, tetapi juga soal legitimasi dan kepastian hukum.
Sementara itu, kepala daerah hasil Pilkada 2020 yang masa jabatannya terpotong akibat perubahan siklus pemilu juga memiliki hak untuk menyelesaikan amanah yang diberikan oleh rakyat selama periode jabatan yang telah ditetapkan.
Apabila pemerintah tetap memaksakan pelantikan kepala daerah hasil Pilkada Serentak 2024 sebelum seluruh sengketa di MK selesai kecuali untuk daerah yang mengalami PSU maka pelantikan tersebut berpotensi cacat hukum karena bertentangan dengan Putusan MK Nomor 27/PUU-XXII/2024.
Untuk itu, pemerintah sebaiknya menunggu hingga akhir Februari 2025 agar proses pelantikan tidak menimbulkan permasalahan hukum dan memastikan transisi kepemimpinan berjalan sesuai dengan prinsip kepastian hukum yang telah digariskan oleh Mahkamah Konstitusi.
Penulis: Ghraito Arip Hartono adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung