BERANDALAPPUNG.COM – Organisasi Himpunan Mahasiswa Islam atau dikenal dengan HMI merupakan organisasi Mahasiswa tertua di Indonesia yang berdiri sejak 5 Februari 1947, pendirinya adalah ayahanda Lafran Pane bersama 14 sahabatnya.
Di dalam ruang kelas yang sederhana tercipta sebuah ide dan gagasan besar untuk mahasiswa berhimpun dengan tujuan yang sangat mulia yaitu mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia dan ikut serta dalam menyiarkan ajaran Islam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Belum lama ini Pengurus Besar HMI melakukan kongkres ke-32 di Pontianak, Kalimantan Barat sebagai upaya untuk proyeksi dan regenerasi kepengurusan organisasi tua tersebut.
Banyak sekali dinamika yang terjadi selama kongres tersebut berlangsung, mulai dari kericuhan bahkan tindakan represif antar kader menjadi theatrical yang dapat kita saksikan bersama betapa sudah hilangnya nilai ideologis dan variable religiusitas kader-kader HMI pada hari ini yang seolah tidak mencerminkan Mahasiswa sebagai Insan Intelektual, agen of change dan sebutan indah lainnya.
Melihat perisitiwa ini, mengingatkan kita kepada pernyataan Mantan Ketua Umum PB HMI Nurcholish Madjid atau yang akrab disapa cak nur dalam Seminar Kepemimpinan dan Moralitas Bangsa di Auditorium LIPI, Jakarta, 13 Juni 2002. Cak nur mengatakan “HMI sebaiknya dibubarkan saja, agar tidak menjadi bulan-bulanan dan dilaknat”.
Sebenarnya patologi seperti apa yang berada pada tubuh organisasi HMI, sampai kata dibubarkan diucap oleh orang yang dihormati oleh Gus Dur tersebut.
Mari berangkat pada kondisi organisasi HMI hari ini dari Tingkat Pusat (nasional) sampai kepada sub yang paling fundamental yaitu Tingkat Komisariat (Fakultas). Kader HMI terjebak dalam romantisisme sejarah bagaimana para pendahulunya menciptakan ide dan gagasan dengan pertengkaran pemikiran yang mengubah dan sekaligus menyelamatkan bangsa Indonesia dari penindasan penguasa tirani.
Rekam jejak para kader HMI yang berdiaspora diberbagai elemen membutakan para kader HMI hari ini seolah menganggap bahwa prestasi yang diraih para pendahulu mereka merupakan prestasi mereka juga.
Kondisi ini mengakibatkan Dunning Kruger Effect, menurut riset dari world bank para pemuda bangsa ini mengalami kemunduran intelektual akibat pandemi covid-19. Hal ini tentu berimplikasi secara langsung terhadap kemampuan kognitif dan secara tidak langsung menciptakan situasi terbatasnya ilmu pengetahuan para kader.
Akibat kurangnya kapasitas dan kapabilitas kader-kader HMI dan terjebaknya kader HMI dalam romantisisme sejarah, mengakibatkan para kader HMI menganggap merekalah yang paling superior, paling benar, paling cerdas dan sebagainya, kondisi inilah yang disebut Dunning Kruger Effect, Tentu hal tersebut sangatlah buruk bagi pertumbuh kembangan organisasi HMI yang perlahan dirasa gagal beradaptasi oleh disrupsi zaman karena minimnya inovasi, ide, dan gagasan para kadernya akibat terbuai ilusi kenyamanan masalalu dan seolah menolak melakukan perubahan.
Thomas Hobbes dalam bukunya yang cukup terkenal yaitu Leviathan menggambarkan pemerintah sebagai entitas yang paling berkuasa dalam negara karena pemerintah memiliki segala instrument yang dibutuhkan untuk melakukan apapun terhadap masyarakat disuatu negara, sebagaimana hewan Leviathan yang dianggap menjadi puncak rantai makanan.
Kekuasaan cenderung menyimpang, statement lord acton tersebut sangatlah relevan dengan kondisi pemerintahan bangsa Indonesia hari ini. Mulai dari kediktatoran mantan presiden ke-2 Indonesia Pak Soeharto dan banyaknya oknum pejabat pemerintah yang melakukan korupsi serta menindas Masyarakat kecil melalui kebijakan yang tidak bijak.
Disinilah peran dan kondisi ideal HMI tercipta sebagaimana peran HMI yang termaktub dalam AD/ART HMI pasal 9 yang berbunyi “HMI Berperan sebagai Organisasi Perjuangan”. Apa yang HMI perjuangkan tertera secara kontras dalam tafsir yaitu kaum mustadh’afin atau kaum yang tertindas.
Secara realitas kondisi organisasi HMI hari ini adalah sebaliknya, HMI justru dekat sekali dengan kekuasaan atau kaum mustakbirin (kaum penindas/penguasa/pemerintah). Sudah menjadi formula umum bahwa siapapun yang dekat dengan kekuasaan, maka idealitasnya akan tumpul.
Itulah yang terjadi pada kader HMI hari ini, mereka lupa akan perannya membela masyarakat-masyarakat yang tertindas, disisi yang bersamaan mereka sangat sekali senang dekat dengan kekuasaan untuk mengeruk keuntungan pribadi. Sikap pragmatis ini secara perlahan mengubah paradigma pergerakan HMI yang menjauhkan para kadernya dari nilai-nilai ideologis HMI itu sendiri.
Nilai Dasar Perjuangan (NDP) seolah hanya menjadi medium retorika untuk berdialog mengenai ketuhanan dan mengabaikan esensi yang lebih substansial, termaktub dalam konsep mission untuk senantiasa memperjuangkan masyarakat tertindas dengan memanfaatkan sumber daya para penguasa untuk membantu perjuangan para kader HMI bukan malah sebalikya, dengan memanfaatkan kaum-kaum tertindas sebagai daya tawar kepada penguasa.
Apa yang terjadi diatas tidak hanya berlaku pada Tingkat pusat atau secara generik, namun mengakar sampai kepada Tingkat komisariat dan termasuk juga pada Tingkat pimpinan cabang. Memotret kondisi organisasi HMI Cabang Bandarlampung sangatlah memprihatinkan, tidak usah berbicara jauh tentang perjuangan kader HMI untuk kaum yang tertindas.
Kepengurusan HMI Cabang Bandarlampung dinilai oleh kader-kader HMI yang berada pada naungannya seolah tidak terasa arah juangnya, arah geraknya, atau bahkan fungsi dasarnya. Peran pimpinan cabang yang diharapkan mampu menaungi, merangkul, dan membantu komisariat-komisariat HMI di Bandarlampung tidak memiliki dampak.
Secara empirik, HMI sirkum unila belum lama ini berkontestasi pada pemilihan raya baik Tingkat universitas dan Tingkat Fakultas, HMI Cabang Bandarlampung seharusnya menjadi centre of idea mengenai langkah dan koordinasi yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan yang diharapkan namun nyatanya tidak sama sekali.
Berbicara peran kongkret langsung, mendapat perhatian saja tidak. Peran dari presidium seolah hanya menjadi formalitas ceremonial kegiatan ditingkat komisariat. Bidang-bidang terasa mati sama seperti sekretariatnya yang mewah seolah tidak ada orang di dalamnya. Kondisi komisariat hari ini sangatlah memprihatinkan, berusaha keras berdiri dikaki sendiri dengan selalu menyandarkan semangat kepada harapan.
Perjuangan tanpa henti seolah menjerit membutuhkan uluran tangan pimpinan cabang sama sekali tidak didengar atau sebetulnya tak terdengar. Pimpinan Cabang HMI Bandarlampung adalah induk utama dari komisariat.
Konsolidasi tidak dilakukan sebagai upaya harmonisasi dan integrasi arah gerak HMI sebandarlampung. Komisariat seolah adalah organisasi yang bergerak sendiri dan tidak jarang saling bersinggungan atas dasar kepentingan, yang disalahkan tentu adalah penanggung jawab yang menaunginya yaitu HMI Cabang Bandarlampung.
Entah apa sebenarnya yang terjadi didalam tubuh kepengurusan HMI Cabang Bandarlampung periode ini 2022-2023. Ketidak mampuan ketua umum dalam memanajemen organisasi menjadi indikasi prasangka yang muncul dari kader-kader HMI se-Bandar lampung atau memang inkompetensi para pengurus yang perlu dievaluasi dan dipertanyakan.
Para kader Tingkat komisariat dalam hati kecilnya yang lelah dengan lirih bersuara, dengan penuh asa ingin didengar. Apa yang ingin HMI Cabang Bandarlampung lakukan untuk merubah situasi buruk ini.
Kepengurusan HMI Cabang Bandarlampung yang seolah mati, tidak adanya arah gerak yang bersandar pada ideologis, tidak berpihak dengan kaum tertindas namun juga tidak dekat dengan kekuasaan seolah mengkontraskan ketidak berdayaan HMI Cabang Bandarlampung hari ini.
Program yang berjalan bisa dihitung oleh jari satu tangan, itupun tidak dapat memberikan implikasi nyata kepada kader-kader dikomisariat apalagi masyarakat Bandarlampung. Kata sederhana yang bisa menggambarkan kondisi HMI Cabang Bandarlampung hari ini adalah Mati.
Konsolidasi, duduk bersama dengan gaya diskusi yang merupakan ciri khas pertengkaran pemikiran kader HMI dirasa menjadi Solusi. HMI Cabang Bandarlampung harus berinisiasi dan berperan sebagai wadah atau bahkan medium pendengar kondisi HMI ditiap-tiap komisariat.
Egosentris pragmatis keuntungan personal harus diabaikan. Jurang kehancuran di depan mata, mati mungkin tidak namun untuk apa ada namun tak berguna. HMI Cabang Bandarlampung harus benar-benar dapat merangkul tiap-tiap sirkum, tiap-tiap komisariat untuk memperbaiki potensi kehancuran pada hari ini.
Kesadaran diperlukan bahwa apa yang mereka perjuangkan sebagaimana termaktub dalam ideologi adalah kemaslahatan umat, masyarakata yang tertindas.
Kader-kader komisariatlah yang menjadi ujung tombak untuk merealisasikan harapan tersebut. Mari kita nantikan apakah HMI Cabang Bandarlampung akan senantiasa tertidur di dalam mimpi buruk Organisasi HMI atau beranjak dari kursi kekuasaan untuk mendengar jeritan lelah komisariat.
Oleh Marsel Rafi Pratama
Penulis adalah Mahasiswa, Jurusan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Unila.