Bandar Lampung (berandalappung.com) – Pengamat Politik Universitas Muhammadiyah Lampung (UML), Candrawansyah, mengungkapkan keprihatinannya terhadap praktik politik uang dan netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) yang tidak hanya marak di Lampung, tetapi juga menjadi masalah di berbagai Provinsi di Indonesia.
Khususnya di Lampung, politik uang telah menjadi persoalan serius dalam setiap perhelatan pemilihan kepala daerah (pilkada), yang sering kali sulit dibuktikan di ranah hukum, terutama di Sentra Penegakkan Hukum Terpadu (Gakkumdu).
Menurut Candrawansyah, politik uang dalam pilkada membawa dampak buruk bagi demokrasi.
Ia menjelaskan, “Politik uang dapat melemahkan kualitas demokrasi, karena para pemilih akhirnya dipengaruhi oleh uang atau materi, bukan oleh visi, misi, atau kapabilitas calon pemimpin.”
Candrawansyah juga menyoroti beberapa dampak negatif dari politik uang, yang meliputi:
1. Merusak Proses Demokrasi – Ketika pemilih memilih berdasarkan imbalan materi, esensi demokrasi sebagai sistem untuk memilih calon terbaik yang mampu memenuhi harapan masyarakat pun hilang.
2. Potensi Korupsi di Masa Depan – Pemimpin yang terpilih melalui politik uang cenderung merasa berutang budi pada pihak-pihak pendukung mereka.
Hal ini sering kali memicu mereka untuk lebih fokus mengembalikan “modal politik” daripada melayani rakyat, sehingga meningkatkan risiko korupsi.
3. Menyengsarakan Rakyat – Pemimpin yang berkuasa karena politik uang umumnya tidak memiliki kepedulian besar terhadap rakyat.
Kepentingan pribadi dan kelompok cenderung lebih diutamakan, yang pada akhirnya memperburuk kondisi sosial dan ekonomi masyarakat.
4. Merusak Moralitas Masyarakat – Kebiasaan menerima uang dalam pemilu menciptakan budaya politik transaksional, menggerus nilai moral dan etika. Masyarakat jadi terbiasa menjual suara mereka demi keuntungan jangka pendek.
Lebih jauh, Candrawansyah menilai bahwa politik uang dapat mematikan partisipasi politik yang sehat dan memperlemah penegakan hukum dalam pemilu.
Ia menyoroti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah, khususnya Pasal 187A, yang menetapkan sanksi pidana bagi siapa pun yang terlibat dalam praktik politik uang.
Pasal ini menjelaskan bahwa pemberi maupun penerima politik uang dalam pilkada dapat dipenjara minimal 36 bulan dan maksimal 72 bulan, serta dikenakan denda mulai dari Rp200 juta hingga Rp1 miliar.
Sayangnya, meskipun ancaman pidana ini sudah jelas, Candrawansyah mengakui masih minimnya kasus politik uang yang diproses hingga meja hijau.
“Kasus politik uang sering kali sulit dibuktikan, sehingga banyak pelaku yang masih bebas,” ujarnya. Pada Jum’at (15/11/2024).
Namun, ia mengapresiasi adanya inisiatif dari masyarakat untuk mencegah politik uang, misalnya dengan mengadakan sayembara atau kegiatan lain yang mendorong keterlibatan masyarakat dalam mengawasi pilkada.
Candrawansyah menekankan bahwa keberhasilan dalam memberantas politik uang tidak hanya bergantung pada penegakan hukum, tetapi juga pada keberanian masyarakat untuk melaporkan dugaan politik uang secara formal.
“Keterlibatan aktif masyarakat akan menjadi benteng utama untuk menciptakan pilkada yang jujur dan adil, sehingga menghasilkan pemimpin yang benar-benar peduli pada kepentingan rakyat,” tutupnya.