Lampung Waspada, Gelombang PPPK Bisa Picu Gelombang Perceraian
berandalappung.com— Bandar Lampung, Pelantikan ribuan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di berbagai daerah sejatinya menjadi penanda kemajuan karier dan kesejahteraan. Namun di balik gegap gempita pengangkatan itu, tersembunyi potensi krisis yang luput dari perhatian negara meningkatnya angka perceraian di kalangan aparatur sipil, terutama perempuan.
Di Cianjur, Jawa Barat, fenomena ini muncul seperti badai dalam diam. Berdasarkan data Pengadilan Agama setempat, puluhan ASN, mayoritas perempuan yang baru saja menerima SK pengangkatan, mengajukan izin cerai.
Dari jumlah tersebut, 11 kasus telah mengantongi surat izin resmi dari atasan. Sisanya menyusul dalam antrean administrasi.
Dari SK Pengangkatan ke SK Perceraian
Alih-alih menjadi simbol kestabilan ekonomi dan sosial, status ASN justru menjadi pemicu retaknya rumah tangga. Ada yang disebabkan oleh relasi kuasa yang timpang, konflik peran, hingga kasus perselingkuhan dan kecanduan judi daring. Namun, benang merahnya tetap satu ketika perempuan mendadak memiliki posisi ekonomi dan pengakuan institusional, relasi personal ikut bergeser. Dan tidak semua pasangan siap menghadapi perubahan itu.
Mayoritas pelamar PPPK adalah perempuan, banyak di antaranya bertugas di Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan dua institusi dengan beban kerja tinggi dan tekanan sosial yang tidak ringan. Mereka tak hanya menanggung beban profesional, tapi juga ekspektasi domestik yang kian menjerat.
Lampung Wajib Waspada
Fenomena di Cianjur bukan kasus tunggal. Pemerintah Provinsi Lampung dijadwalkan menyerahkan SK pengangkatan kepada 5.469 PPPK pada 30 Juli 2025, berdasarkan SK Sekretaris Daerah Nomor 800.1.2.5/3728/VI.04/2025. Euforia ini patut diimbangi dengan kesiapsiagaan kebijakan sosial.
Dedi Hermawan, M.Si., pengamat sosial dari Universitas Lampung, menilai apa yang terjadi bukan sekadar insiden, melainkan gejala sosiologis yang menuntut perhatian serius.
“Kenaikan status ASN/PPPK membawa implikasi besar terhadap dinamika rumah tangga. Jika relasi suami-istri sejak awal rapuh, pelantikan justru bisa menjadi katalis konflik,” ujar Dedi.
Menurutnya, banyak ASN perempuan mengalami lonjakan identitas sosial secara drastis. SK dan gaji tetap bulanan memberi mereka keberanian untuk mengambil kendali hidup sebuah fase yang jika tidak dibarengi kesiapan pasangan, bisa berujung pada perpisahan.
Namun Dedi menegaskan bahwa fenomena ini bukan soal emansipasi semata. “Ini menyoroti lemahnya ketahanan keluarga, rendahnya literasi gender, dan absennya dukungan psikososial dari negara,” tegasnya.
Negara Harus Hadir Melampaui SK
Kritik tajam muncul terhadap lemahnya peran pemerintah daerah yang hanya berhenti pada urusan administratif. Proses rekrutmen dan pelantikan PPPK selama ini nyaris steril dari aspek pembekalan mental, konseling keluarga, atau pelatihan penguatan relasi sosial.
“Negara hanya hadir sampai SK turun. Setelah itu, para ASN ditinggalkan menghadapi tekanan hidup sendirian. Padahal ini bukan soal domestik semata, tapi menyangkut kualitas pelayanan publik,” imbuh Dedi.
Ia juga menyinggung peran media sosial, gaya hidup konsumtif, dan aplikasi pinjaman daring yang memperburuk orientasi nilai di kalangan ASN muda. Tanpa mitigasi yang tepat, Lampung bisa saja menyusul Cianjur bukan dalam hal kinerja, tapi dalam krisis keluarga yang senyap namun nyata.
Krisis Senyap di Balik Birokrasi
Fenomena perceraian massal di kalangan ASN/PPPK adalah krisis yang selama ini tidak masuk radar pengambilan kebijakan. Di balik angka-angka pelantikan dan grafik target kinerja, tersembunyi kenyataan getir banyak perempuan memilih mengakhiri rumah tangga yang tidak sehat setelah mendapat pijakan ekonomi yang layak.
Ini bukan semata persoalan moral, tapi kegagalan sistemik negara dalam memahami manusia di balik mesin birokrasi.
Negara, dalam hal ini pemerintah daerah, tidak boleh lagi abai. ASN bukan sekadar barisan pegawai dengan target bulanan, mereka adalah individu dengan beban emosional dan relasi sosial yang mempengaruhi integritas pelayanan.
Jika negara masih melihat ASN sebatas angka dalam spreadsheet, maka jangan heran jika satu per satu mereka gugur bukan karena korupsi, tapi karena hancurnya pondasi paling mendasar: keluarga.***
Editor : Alex Buay Sako