Krisis Sekolah Negeri di Terbanggi Besar Ribuan Siswa Tersingkir, Warga Desak Solusi Nyata
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
berandalappung.com— Lampung Tengah, ribuan lulusan SMP di Kecamatan Terbanggi Besar, Lampung Tengah, tengah menghadapi kenyataan pahit. Di tengah gegap gempita penerimaan peserta didik baru (PPDB), mereka justru tersingkir dari sistem. Bukan karena kurang nilai atau prestasi, tapi karena tak ada cukup ruang di sekolah negeri.
Dari 21 SMP yang ada di wilayah Terbanggi, sekitar 4.000 siswa tercatat sebagai lulusan tahun ini. Namun, hanya satu SMA negeri berdiri di kecamatan seluas 213,29 kilometer persegi ini. Dan kapasitasnya sangat terbatas hanya 432 siswa, sesuai data pengajuan dalam Dapodik (Data Pokok Pendidikan) milik Kementerian Pendidikan.
Sistem Terkunci, Siswa Tersisih
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung, Thomas Amirico, menyatakan pihaknya tidak bisa lagi membuka ruang penerimaan di luar kuota tersebut. Alasannya, sistem Dapodik dan NIS (Nomor Induk Siswa) sudah terkunci secara digital, mengikuti mekanisme nasional.
“Kami tidak mau mengulangi kesalahan tahun lalu,” kata Thomas, merujuk pada pencopotan Kepala SMAN Terbanggi sebelumnya, Haryono, yang dinilai melanggar aturan PPDB karena menerima siswa di luar kuota resmi.
“Kami harus taat aturan. Jika dipaksakan, justru akan jadi bumerang. Maka dari itu, kami pilih tidak ambil risiko, sekalipun tuntutan masyarakat cukup tinggi,” ujarnya.
Namun pernyataan normatif itu tidak serta-merta meredakan kegelisahan publik. Apalagi, Kota Metro dengan luas wilayah lebih kecil, yakni hanya 73,21 km² memiliki lima SMA negeri untuk menampung siswanya. Sementara Terbanggi Besar, dengan jumlah penduduk lebih dari 133 ribu jiwa, hanya memiliki satu SMA negri.
Suara Komite dan Ancaman Gejolak Sosial
Ketua Komite SMAN Terbanggi, Asep Rahmadin, SH, angkat suara. Ia meminta agar pemerintah provinsi, terutama Gubernur Lampung Bapak Rahmat Mirzani Djausal, meninjau ulang teknis PPDB dan tidak hanya mengandalkan jalur prestasi semata.
“Kami di sini bukan menolak siswa berprestasi. Tapi kalau sistem hanya mengakomodasi prestasi dan mengabaikan domisili, masyarakat lokal akan terus tersingkir,” tegas Asep.
Ia menambahkan, masyarakat berharap skema PPDB dimodifikasi dengan pendekatan lebih adil. “Prioritaskan dulu warga Terbanggi lewat jalur domisili, lalu afirmasi, baru kemudian prestasi. Jangan dibalik. Karena kondisi lapangan tidak sama dengan kota-kota besar,” ujarnya.
Asep pun menyampaikan kekhawatiran bahwa kekecewaan masyarakat bisa berubah menjadi tindakan anarkis, sebagaimana pernah terjadi di beberapa daerah lain saat PPDB dianggap tak berpihak pada warga sekitar sekolah. “Kami tidak ingin sekolah jadi korban dari kemarahan masyarakat,” katanya.
Langkah Advokasi dan Aspirasi ke DPRD
Melihat situasi semakin memanas, hari ini (Rabu, 26 Juni 2025), Ketua DPRD Lampung Tengah bersama Komite SMAN Terbanggi dan perwakilan kepala kampung setempat akan bertolak ke Komisi V DPRD Provinsi Lampung sayang pada saat sampai di gedung dewan ternyata anggota dewan komisi V lagi ada agenda kunjungan kerja, sehingga perwakilan dari warga Terbanggi Besar harus buat jadwal ulang untuk bertemu dengan anggota DPRD Provinsi.
“Yang kami perjuangkan ini bukan kepentingan pribadi, tapi kebutuhan dasar masyarakat. Pendidikan adalah hak setiap anak bangsa,” ujar seorang kepala kampung yang ikut serta dalam rombongan.
Menunggu Arah Gubernur dan Janji Koordinasi
Thomas Amirico menyebut bahwa pihaknya telah berkoordinasi dengan Bupati Lampung Tengah terkait rencana pembangunan unit sekolah baru (USB). “Kami sudah bicara agar pemkab mencarikan lahan di Terbanggi. Jika sudah tersedia, kami siap ajukan pembukaan SMA negeri baru,” ujarnya.
Namun ia juga menegaskan bahwa kewenangan penuh tetap berada di tangan Gubernur Lampung. “Kalau sudah ada keputusan dari Pak Gubernur, kami siap jalankan, selama tetap sesuai aturan,” imbuhnya.
Ini adalah ketimpangan yang Harus diakhiri
Ironisnya, problem ini bukan soal teknis semata. Ini adalah cermin dari ketimpangan distribusi infrastruktur pendidikan di Lampung. Di tengah semangat “merdeka belajar” yang digaungkan pemerintah pusat, justru akses pendidikan berkualitas masih menjadi barang mewah di daerah-daerah dengan pertumbuhan penduduk tinggi tapi infrastruktur minim.
PPDB seharusnya bukan menjadi ajang kompetisi bebas tanpa arah, melainkan instrumen pemerataan dan keadilan. Saat anak-anak di kota lebih leluasa memilih sekolah, ribuan anak di Terbanggi harus pasrah bukan karena mereka tidak mampu, tapi karena sistem tidak mengakomodasi realitas.
Editor : Alex Buay Sako