Berandalappung.com – Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan tanah yang subur dan hasil pertanian melimpah.
Namun, di balik potensi tersebut, muncul pertanyaan besar: siapa yang masih mau bertani?
M. Syanda Giantara Ali K.M adalah alumnus Magister Agronomi Universitas Lampung dan anggota Ikaperta Unila, menyoroti fakta yang mengkhawatirkan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Lahan pertanian semakin berkurang, sawah-sawah kosong, dan anak muda lebih memilih bekerja di kantor daripada turun ke ladang.
“Petani semakin langka karena faktor ekonomi dan sosial. Gaji petani cenderung tidak stabil, gengsi sosial masih tinggi, dan banyak yang berpikir lebih baik bekerja di ruangan ber-AC dengan pendapatan tetap daripada berkotor-kotoran di sawah,” ujarnya kepada berandalappung.com Minggu, (9/2/2025).
Petani vs. Pegawai: Pilihan Realistis Generasi Muda
Data menunjukkan hanya sekitar 8% generasi muda di bawah 35 tahun yang masih terlibat di pertanian (Bangda Kemendagri, 2023).
Selebihnya, lebih memilih pekerjaan di sektor lain yang dianggap lebih menjanjikan secara finansial.
1. Perbandingan penghasilan menjadi salah satu alasan utama:
2. PNS Golongan III: Rp2,5-3 juta/bulan, belum termasuk tunjangan (BKN, 2024).
3. Pegawai Swasta: Rp2,92-3,5 juta/bulan (BPS, 2023).
4. Pegawai BUMN: Staf biasa Rp5-8 juta/bulan, bahkan bisa mencapai puluhan juta untuk level atas.
Petani Milenial: Rata-rata Rp2-3 juta/bulan, meskipun yang inovatif bisa meraup Rp8-15 juta/bulan dari urban farming (Sumatera Ekspres, 2024).
“Dengan angka-angka ini, banyak lulusan pertanian lebih memilih bekerja di bank, industri, atau sektor lain yang lebih menjanjikan pendapatan stabil. Persepsi bahwa bertani adalah pekerjaan kelas bawah juga masih mengakar kuat,” kata Syanda.
Butuh Perubahan Pola Pikir dan Kebijakan
Menurutnya, solusi dari krisis regenerasi petani bukan sekadar mendorong anak muda untuk turun ke sawah, tetapi juga menciptakan ekosistem pertanian yang lebih modern dan menguntungkan.
“Negara agraris tidak hanya butuh petani, tapi juga regulator, inovator, dan pelaku bisnis yang bisa membawa pertanian ke level berikutnya,” ujarnya.
Beberapa solusi yang bisa diterapkan:
1. Penguatan Kebijakan Pro-Petani
Pemerintah harus memastikan regulasi dan insentif yang mendorong anak muda kembali tertarik ke sektor pertanian.
2. Peningkatan Digitalisasi dan Teknologi
Startup agritech bisa menjadi solusi bagi petani untuk meningkatkan hasil panen dan efisiensi bisnis mereka.
3. Perubahan Persepsi Sosial
Bertani harus dipandang sebagai profesi yang modern dan menjanjikan, bukan sekadar warisan turun-temurun tanpa masa depan.
4. Mendorong Agribisnis dan Wirausaha Pertanian
Anak muda bisa tetap bekerja kantoran sambil menjalankan bisnis pertanian berbasis teknologi.
“Pertanian Satu, Pertanian Jaya”
Syanda menegaskan bahwa keberlanjutan pertanian bukan hanya tanggung jawab petani, tetapi seluruh elemen masyarakat.
“Kita butuh yang mencangkul di sawah, tapi kita juga butuh yang mencangkul di kebijakan. Ada yang menanam padi, ada yang membuat regulasi pertanian. Ada yang jualan di pasar, ada yang membangun platform agritech,” tegasnya.
Pada akhirnya, di negeri agraris ini, siapa pun profesinya, semua tetap butuh makan.
“Nasi di piring kita tidak tumbuh dari laporan keuangan. Kopi yang kita seruput tiap pagi bukan hasil dari rapat evaluasi. Kalau negeri ini hanya melahirkan pegawai tapi kekurangan petani, kita cuma akan jadi negara agraris di atas kertas,” pungkasnya.
Harapan untuk Masa Depan Pertanian Indonesia
Regenerasi petani membutuhkan pendekatan yang lebih luas dari sekadar ajakan untuk kembali ke sawah.
Dengan inovasi, dukungan kebijakan, dan perubahan pola pikir, anak muda bisa tetap berkontribusi dalam pertanian, baik di lapangan maupun di sektor pendukungnya.
Yang terpenting, jangan pernah melupakan akar: “Pertanian Satu, Pertanian Jaya!”