Kereta Gantung Bandar Lampung dan Pencitraan Politik dari Udara
berandalappung.com — Teluk Betung, peta rute kereta gantung di Bandar Lampung kembali berubah. Dari yang sebelumnya membentang ke arah laut, kini berbelok ke perbukitan. Rute anyar itu, menurut Wali KotaEva Dwiana,akan menyambungkan Rumah Dinas Wali Kota langsung ke kawasan wisata Air Terjun Sumur Putri. Sejauh 6,9 kilometer melintasi perbukitan dan panorama kota yang katanya “indah sekali”.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Tapi di balik euforia pemandangan dari ketinggian, ada pertanyaan yang menggantung lebih tajam dari kabel baja penyangga gondola: untuk siapa sebenarnya proyek ini dibangun?
Tak ada kajian terbuka, tak terdengar pula ada konsultasi publik. Pemerintah kota terkesan menuntaskan rencana ini dari balik jendela rumah dinas dan tangkapan drone. Di tengah kota yang masih berkutat dengan permasalahan mendasar seperti kemacetan, banjir, dan kemiskinan, kereta gantung malah diprioritaskan. Seakan-akan solusi bagi Bandarlampung adalah melihat kota dari atas, bukan membenahinya dari bawah.
Perubahan rute pun menunjukkan lemahnya perencanaan awal. Jika sebelumnya rute yang diimpikan menjangkau Pantai Gunung Kunyit hingga Pulau Permata, kini bergeser ke dataran tinggi karena, kata Wali Kota, “tiang pancangnya luar biasa”. Alasan teknis yang dilontarkan rujukan tanpa data teknis sama sekali. Mengundang pertanyaan: apakah ini benar soal kesulitan konstruksi, atau sekadar penyesuaian narasi demi memeles citra?
Lebih mencengangkan lagi, wali kota menyebut pembangunan ini tidak menggunakan dana APBD maupun APBN, melainkan dari investor asal Tiongkok. Namun seperti biasa, tidak ada rincian soal skema investasi, perjanjian kerja sama, hingga jaminan keuntungan apa yang ditawarkan pada investor. Janji transparansi mengucapkan terima kasih atas “antusiasme investor”. Kita seolah diajak percaya begitu saja, padahal sejarah utang daerah dan jebakan proyek mercusuar tidak pernah absen di republik ini.
Pembangunan infrastruktur wisata memang sah. Tapi ketika arah kebijakannya tak lahir dari kebutuhan warga, melainkan hasrat elite untuk tampil megah, maka gantung pun tak ubahnya perpanjangan tangan dari pencitraan politik. Dalam pemberitaan narasi “pengembangan pariwisata”, pada hal yang terjadi adalah fokus dari persoalan nyata kota ke proyek elitis yang menggantung di awang-awang.
Bandarlampung tak butuh mimpi dari atas gondola, ia butuh pemimpin yang berpijak di tanah, bekerja dari jalanan, bukan dari drone.
Editor : Alex Buay Sako