Polisi jadi buah bibir belakangan ini. Saking riuhnya, hastag “percuma lapor polisi” sampai masuk trending topic di sosmed.
Sebagai jurnalis saya sesungguhnya ikut terusik dengan fenomena tersebut. Ingin rasanya ikut berkomentar. Angkat bicara. Tapi nyali kok mendadak ciut, ya. Padahal sepanjang karir (yang tak seberapa ini) sebagai jurnalis, saya rasanya tak pernah ragu dalam menulis. Pun termasuk mengkritisi kepala daerah. Lebih-lebih ‘hanya’ seorang kepala dinas. Sering banget.
Tapi kali ini suasana hati saya berbeda. Maklum saja obyek pembicaraannya menyangkut polisi. Aparat hukum. Mungkin ada yang tanya memang kenapa kalau menulis tentang polisi? hmmm…jangan mancing-mancing, ah. Pokoknya gitu, deh. Pembaca mungkin malah lebih banyak tahu. Banyak tahu apa? ish, sudahlah. Jangan terus-terusan memprovokasi. Nanti saya khilaf. Sebab saya tahu persis, iman saya tipis. Sangat mudah tergoda. Malah tak digoda pun kerapkali tergoda. Gampangan gitu!
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pokoknya fix, saya tak mau ikut-ikutan kasih komentar tentang polisi. Bener-bener nggak mau. Kendati, kalau mau jujur, ada banyak pandangan yang memenuhi benak. Tapi saya tahan. Seperti yang sudah saya sampaikan tadi. Saya menghindari untuk bicara apalagi menulis tentang polisi.
Padahal tadinya saya kepingin ikut berkomentar tentang perkara di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, misalnya. Nama daerah ini mendadak tenar lantaran ada seorang perempuan melaporkan mantan suaminya ke polisi. Laporannya terbilang sangat serius. Pemerkosaan. Bahkan korban pemerkosaannya adalah anak kandungnya sendiri. Astaga! Lebih biadabnya lagi usia korban masih di bawah 10 tahun. Astaga! Yang paling bikin miris. Jumlah korban tak hanya satu, tapi tiga. Astagaaaa!
Pemicu kegaduhan publik justru makin mencuat ketika polisi setempat memutuskan tidak meneruskan proses penyelidikan. Alasannya lantaran kurangnya alat bukti dan penyidik berkeyakinan tidak ada suatu tindak pidana. Pesan polisi kepada pelapor, kasus ini bisa dibuka lagi, kalau saja mampu menyodorkan alat bukti baru.
“Silakan ibu putar otak dan bekerja lebih gigih lagi mengumpulkan alat bukti. Kalau sudah dapat nanti bisa dilaporkan lagi ke kami”. Kira-kira seperti itu maksudnya.
Tugas berat yang diemban si ibu itu agaknya tak sampai di situ. Karena mantan suaminya yang tak lain ayah dari ketiga anaknya, yang tiada lain pula adalah orang yang dia laporkan ke polisi karena tudingan pemerkosaan, belakangan ikut melaporkan balik dirinya ke polisi. Tak ayal beban si ibu kian bertumpuk. Belum lagi muncul tudingan bahwa perempuan ini mengalami gangguan kejiwaan. Duhhh!
Hanya saja, terlepas dari cerita siapa yang benar dari perseteruan bekas suami-istri itu, saya ingin tahu bagaimana kondisi fisik dan psikologis ketiga bocah anak mereka. Kalau benar ketiganya sudah menjadi korban pemerkosaan oleh ayah kandungnya, jangan sampai kejiwaannya makin rusak, karena kena imbas dari berlarut-larutnya perkara yang merundung mereka.
Sebaliknya, bila ternyata ketiga anak tersebut tidak pernah diperkosa -jujur saja dalam hati saya mengharapkan hal ini- namun sangat mungkin kejiwaan mereka turut terganggu dengan terus menggelindingnya persoalan yang sudah menarik perhatian nasional ini. Sungguh miris!
Cerita yang masih terkait polisi dan menjadi sorotan nasional juga terjadi di Sumatera Utara. Berawal dari beredarnya sebuah video dan viral. Dalam video itu terlihat seorang perempuan bernama Litirawi Iman Gea (37) dianiaya pria berbadan besar. Namanya Beny.
Menurut Gea, perselisihan muncul setelah dirinya menolak memberi duit keamanan yang diminta Beny. Gea memang sedang berdagang di Pasar Gambir, Sumut, saat kejadian. Tak terima permintaannya ditolak, Beny naik pitam.
Sontak keduanya terlibat cek-cok. Hingga -seperti terlihat dalam video viral- Beny melancarkan pukulan bahkan tendangan pada perempuan berumur 37 tahun itu. Gea meraung histeris sambil tangannya terlihat beberapa kali berupaya menangkis serangan Beny.
Tak berselang lama, Beny diamankan polisi. Tapi yang mengejutkan dalam waktu singkat Gea juga dipanggil polisi. Bukan sebagai saksi korban. Gea justru dijadikan tersangka atas laporan yang dibuat Beny. Lelaki berbadan besar yang tampak begitu garang melabrak Gea di video viral itu, mengaku dianiaya Gea. Bukti yang diajukan Beny ada bekas cakaran Gea di tangannya.
Tak pelak, kasus “Dianiaya Malah Jadi Tersangka” menjadi perhatian media juga netizen. Banyak orang dibuat geleng-geleng kepala dengan perkara ini. Duhhh…!
Herannya, setelah ramai disorot, belakangan terbetik kabar Polri melakukan audit terhadap penyidikan kasus pedagang dipukul preman itu. Hasilnya, penyidikan dinyatakan tidak profesional. Kanit Resintel dicopot. Mesti dibuat ramai dulu agaknya.
Ah, sudahlah, saya sudah berniat untuk tidak berkomentar tentang polisi. Oh iya, bagi pembaca yang pernah menyicipi era jadul, tentu pernah dengar Inspektur Vijay. Itu lho, sosok polisi yang kerap dihadirkan pada film-film produksi Bollywood.
Bagi yang belum tahu, bolehlah sedikit tahu. Sebab, tokoh fiktif Inspektur Vijay itu sangat melegenda. Tak hanya populer di jamannya. Tapi juga terus membekas hingga sekarang. Maklum saja, selain Inspektur Vijay diperankan oleh maestro perfilman India, Amitabh Bachchan, karakter polisi yang satu ini dicitrakan sebagai aparat yang sangat ideal. Pokoknya sangat ikonik.
Tapi siapa nyana, kehadiran karakter Inspektur Vijay ini, ternyata mengemban misi mulia. Hal itu seperti pernah diungkap Salim-Javed, sutradara yang membidani film dengan tokoh utama Inspektur Vijay tersebut. Menurutnya, karakter Inspektur Vijay dihadirkan sebagai bentuk kritik terhadap pemerintah India.
Pemerintah, kata Salim, terbukti gagal membikin warganya tenteram. Ada banyak ketidakadilan yang menimpa masyarakat lapisan bawah. Di sinilah peran penting Inspektur Vijay. Sosok ini disimbolkan sebagai harapan akan keadilan yang dirindukan khalayak. Mungkinkah khalayak Indonesia juga mengidamkan polisi seperti Inspektur Vijay? Ah, ada-ada saja! (Bintang)