Bandar Lampung (berandalappung.com) – Pesta demokrasi Pilkada 2024 telah berlangsung, namun suasana pasca-quick count menyisakan banyak cerita, termasuk apa yang disampaikan oleh seorang pengamat pemberdayaan masyarakat, Hengki Irawan.
Di pagi menjelang siang pada 28 November 2024, Hengki menyajikan analogi yang menarik antara politik dan kopi pahit, yang mengundang kita untuk merenungi dinamika demokrasi dan realitas yang menyertainya.
Hengki memulai dengan refleksi sederhana:” Antara kopi pahit dan politik, keduanya memiliki kesamaan—sama-sama pahit, tetapi perlu dinikmati dan diterima sebagai kenyataan.”
Politik sebagai Kopi Pahit
Hengki menjelaskan bahwa kopi pahit melambangkan keberanian dan kesehatan berpikir, sementara politik sering kali dikaitkan dengan nilai material.
“Pahitnya kopi adalah kejujuran, sedangkan pahitnya politik sering kali berasal dari janji manis yang tak terealisasi,” ujarnya Kamis, (28/11/2024).
Menurutnya, meskipun tidak semua orang menyukai kopi pahit, banyak yang mengonsumsinya karena manfaat kesehatan. Begitu pula dengan politik, tidak semua orang tertarik, tetapi partisipasi dalam demokrasi adalah hak sekaligus kewajiban.
Hengki menambahkan, “Jika masyarakat tidak berpikir dengan akal sehat, mereka hanya akan terjebak dalam pahitnya demokrasi yang tidak seimbang.”
Kopi sebagai Metafora Diskusi Politik
Hengki membayangkan sebuah ruang diskusi bernama “Kafe Politik”, di mana kopi pahit menjadi simbol refleksi terhadap janji-janji politik yang tidak terpenuhi.
“Diskusi sambil menyeruput kopi pahit bisa mengingatkan kita pada realitas bahwa politik tanpa kejujuran membawa dampak buruk bagi pembangunan,” jelasnya.
Ia juga menyoroti bahwa janji-janji politik sering kali tidak dapat ditagih secara hukum karena hanya masuk dalam visi dan misi calon saat kampanye.
“Menagih janji politik sama seperti bertanya kenapa kopi harus pahit. Keduanya sama-sama sulit dijelaskan, tetapi nyata dirasakan,” lanjutnya.
“Politik Tanpa Gula” dan Kejujuran Demokrasi
Hengki memperkenalkan konsep “Politik Tanpa Gula” yang mencerminkan transparansi dan kejujuran dalam berpolitik.
Sama seperti kopi pahit, politik yang jujur mungkin tidak manis, tetapi tetap diperlukan.
“Kopi yang disajikan pahit dari awal adalah kopi yang jujur. Begitu juga politik yang seharusnya tidak berpura-pura manis,” kata Hengki.
Kopi sebagai Simbol Keberagaman dan Kompromi
Dalam analoginya, Hengki juga menyamakan keragaman jenis kopi dengan keberagaman pandangan politik.
“Seperti kopi Arabika, Robusta, atau Americano, pandangan politik pun beragam. Perbedaan itu seharusnya tidak memecah persatuan, tetapi menjadi ajang untuk saling belajar,” ujarnya.
Ia mengibaratkan setiap jenis kopi mewakili isu tertentu: kopi hitam untuk ekonomi, latte untuk pendidikan, dan espresso untuk lingkungan.
“Semua jenis kopi memiliki rasa pahit, tetapi masing-masing memiliki cara penyajian yang unik. Begitu juga dengan isu-isu politik,” tambahnya.
Menikmati Pahitnya Demokrasi
Hengki mengakhiri refleksinya dengan menegaskan bahwa pahitnya demokrasi adalah bagian dari proses menuju perbaikan.
“Demokrasi tidak sempurna, tetapi lebih baik daripada alternatif lainnya. Menikmati pahitnya kopi sama seperti menerima kenyataan pahit dalam demokrasi,” ujarnya.
Politik dan Kopi di Atas Meja
Sebagai penutup, Hengki mengusulkan agar diskusi tentang kopi pahit dan politik menjadi ritual rutin.
“Kopi pahit dan politik bisa berdampingan di atas meja. Namun, jujurnya kopi harus menjadi inspirasi bagi kejujuran dalam politik, yang sering kali dikaburkan oleh strategi dan taktik,” katanya.
Hengki mengajak masyarakat untuk lebih bijak dalam memahami pahitnya politik, sama seperti mereka menikmati pahitnya kopi.
“Politik tanpa kejujuran memang tidak mudah, tetapi dengan keberanian dan kesadaran, kita bisa menuntut perubahan.”
“Selamat menikmati kopi pahit dan refleksi politik pahit,” tutup Hengki dengan penuh makna.