SIKAMBARA Menyala, Sepak Bola Lampung Jangan Jadi Proyek Kosmetik Elite
berandalappung.com— Bandar Lampung, di tengah rinai hujan yang membasahi Stadion Pahoman, Selasa (1/7), sekelompok suporter yang menamakan diri SIKAMBARA datang menemui pengurus Asprov PSSI Lampung. Mereka membawa semangat, tapi juga pesan keras rakyat Lampung tidak butuh euforia palsu mereka menuntut sepak bola dibenahi secara serius dan menyeluruh.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Pertemuan itu dihadiri Yoga Swara, Waketum Bidang Kompetisi Asprov, May Rahman dari PSBL Legend, serta perwakilan SIKAMBARA Junaedi, Dero, Galih, dan Yusuf. Mereka menyatakan dukungan terhadap kehadiran BPL FC, klub Liga 1 yang dipindahkan ke Lampung atas inisiatif Gubernur RMD.
Namun, di tengah dukungan, sejumlah pengamat justru angkat bicara—menyoroti keras potensi kegagalan jika langkah ini hanya dijadikan alat politik semata.
“BPL FC pindah ke Lampung? Bagus, tapi jangan sampai ini cuma jadi gimmick politik kepala daerah. Jangan ulangi kegagalan masa lalu ketika PSBL atau Lampung FC hidup-mati karena tak ada sistem yang jelas,” ujar Imam Suroso, pengamat olahraga nasional dan mantan jurnalis olahraga senior.
SIKAMBARA mengklaim hadir sebagai representasi rakyat Lampung yang ingin atmosfer sepak bola sehat dan berkelas. Junaedi menegaskan, pihaknya tak ingin sepak bola hanya dijadikan panggung pencitraan.
“Kami bukan suporter karbitan. Kami akan kawal, akan kritik, dan akan lawan jika BPL FC hanya dijadikan alat politik lima tahunan,” tegasnya.
Yoga Swara dari Asprov menyambut dukungan ini. Ia mengklaim kesiapan infrastruktur stadion dan kelengkapan administratif sudah 80 persen. Namun publik menunggu, bukan janji, melainkan hasil konkret.
“Kami pastikan semua syarat Liga 1 dikebut. Tapi lebih penting lagi, kami ingin sepak bola di Lampung punya napas panjang dari kompetisi usia dini sampai level profesional,” kata Yoga.
Namun kritikus lain, Denny Arman, analis sepak bola Lampung, punya catatan tajam.
“Selama ini, pembinaan sepak bola di Lampung nihil. Stadion rusak, wasit minim, dan liga usia dini fiktif. Lalu tiba-tiba klub Liga 1 dipindah, tanpa pondasi? Ini bisa jadi bom waktu,” katanya.
“Kalau mau serius bangkit, benahi dulu Asprov-nya. Jangan sibuk cari panggung, padahal internalnya sendiri belum transparan,” tambah Denny, yang juga mantan pengurus klub lokal.
May Rahman, eks pemain PSBL, berharap semangat publik jangan hanya di awal. Ia juga mewanti-wanti agar SIKAMBARA tidak berubah menjadi suporter beringas.
“Boleh semangat, tapi jangan jadi masalah. Jangan bikin rusuh. Kita dukung dengan dewasa, jangan seperti era lalu yang rusuh di luar lapangan, kosong di pembinaan,” tegas May.
Pertemuan ditutup dengan penyerahan jersey bertuliskan nama “Yoga Swara” dan topi SIKAMBARA. Namun lebih dari simbol seremonial, tantangan sesungguhnya ada di lapangan mampukah Lampung membangun kultur sepak bola baru yang sehat, profesional, dan bebas dari kepentingan politik jangka pendek?
Atau lagi-lagi ini hanya ilusi kejayaan semu yang akan pudar ketika sorotan kamera tak lagi menyala?
Editor : Alex Buay Sako