Fenomena Calon Tunggal, Pragmatisme Politik dan Suramnya Demokrasi Lokal

Avatar photo

- Jurnalis

Sabtu, 3 Agustus 2024 - 14:57 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ghraito Arip H. adalah Mahasiswa Hukum Administrasi Negara Universitas Lampung. Foto : Ist

Ghraito Arip H. adalah Mahasiswa Hukum Administrasi Negara Universitas Lampung. Foto : Ist

Bandar Lampung (berandalappung.com) – Mahkamah Konstitusi(MK) melalui putusannya No 12/PUU- XXI/2024 termaktub dalam Amar putusannya dengan tegas menyatakan bahwa pilkada serentak harus tetap terlaksana sesuai dengan perintah UU No.10 tahun 2016 Tentang pemilihan Gubernur, bupati dan Walikota (UU pilkada) yaitu di bulan November 2024.

Pilkada adalah agenda untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan Wali Kota dan Wakil Wali Kota. Kegiatan Pilkada 2024 akan digelar serentak pada tanggal 27 November 2024. Dalam pemilihan, biasanya ada beberapa pasangan calon untuk dicoblos atau dipilih pada saat hari pemungutan suara.

Akan tetapi, tren soal calon Tunggal di setiap Pilkada sangat meningkat pesat sehingga terkesan menjamur dalam beberapa pilkada terakhir yang di Indonesia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dalam beberapa Pilkada terakhir menurut catatan dari rumahpemilu.org Pilkada Serentak 2020 punya banyak calon tunggal. Dari 270 daerah yang menyelenggarakan pilkada, ada 25 daerah yang hanya punya satu peserta. 25 daerah ini yaitu: 1. Humbang Hasundutan; 2. Kota Gunungsitoli; 3. Kota Pematangsiantar (Sumatera Utara); 4. Pasaman (Sumatera Barat); 6. Ogan Komering Ulu (Sumatera Selatan); 7. Bengkulu Utara (Bengkulu); 8. Boyolali; 9. Grobogan; 10. Kebumen; 11. Kota Semarang; 12. Sragen; 13. Wonosobo (Jawa Tengah); 14. Kediri; 15. Ngawi (Jawa Timur); 16. Badung (Bali); 17. Sumbawa Barat (NTB); 18. Kota Balikpapan 19.

 

Kutai Kartanegara (Kalimantan Timur); 20. Gowa; 21. Soppeng (Sulawesi Selatan); 22. Mamuju Tengah (Sulawesi Barat); 23. Manokwari Selatan; 24. Arfak; dan 25. Raja Ampat (Papua Barat).

Jumlah 25 pilkada calon tunggal ini meningkat pesat dibanding pilkada serentak sebelumnya. Pilkada Serentak 2015 hanya ada 3 daerah.

Pilkada 2017, meningkat tiga kali lipat menjadi 9 daerah. Pilkada 2018, terus meningkat jadi 16 daerah. Pragmatisme & Bobroknya Partai Politik

Reformasi yang telah berusia 25 tahun dinilai gagal mewujudkan pelembagaan demokrasi karena melewatkan agenda reformasi partai politik (parpol).

Akibatnya berbagai upaya demokratisasi cenderung mentok bahkan mengalami kemunduran. Kemunduran partai politik local kita dapat dilihat dari tren meningkatnya calon Tunggal dalam setiap konstestasi Pilkada artinya partai politik tidak mampu membina dan menghasilkan kader-kader yang berkualitas sehingga mampu berkontestasi dalam persaingan pasangan calon di setiap Pilkada.

Merujuk UU 10/2016 tentang pilkada, partai bisa mengusung pasangan calon kepala daerah jika memiliki minimal 20% kursi DPRD atau mendapatkan setidaknya 25% suara sah pada pemilihan anggota DPRD sebelumnya.

Meskipun ada regulasi tersebut mestinya partai tak cendurung hanya bergumam dan tak mampu menghadirkan perlawanan terhadap sosok-sosok tertentu yang mencerminkan perpanjangan tangan kekuasaan tertentu bukan malah mendorong bergabung ke koalisi gemuk yang di duga sebagai sinyal lawan kotak kosong.

Dampak lain terkait dengan munculnya calon tunggal tersebut menunjukkan bahwa, bukan saja ini “tamparan” bagi partai politik dan bagi perkembangan demokrasi di tingkat lokal, tetapi juga mengindikasikan perjalan desentralisasi dan otonomi daerah mengalami stagnasi.

Prinsip dasar dari desentralisasi, yaitu adanya political equality dan akuntabilitas politik di tingkat lokal tidak memiliki korelasi positif dengan penguatan demokrasi di tingkat lokal.

Dampaknya adalah, seperti yang dikemukan oleh Vedi R. Hadiz: “….Munculnya jaringan-jaringan patronase yang desentralistik, tumpang tindih, dan tersebar yang didasarkan atas persaingan memperebutkan akses dan kontrol terhadap lembaga-lembaga dan sumber daya negara di tingkat lokal….;

Baca Juga :  Pasangan Aries Sandi dan Eriawan Optimis Maju Pilkada Pesawaran

Munculnya bandar-bandar, pialang dan kriminal politik yang sebelumnya berada pada lapisan-lapisan terbawah dalam sistem patronase Orde Baru; dan kontrol kontrol yang terlalu otoriterian digantikan oleh penggunaan politik uang dan politik kekerasan.

Mereka itu, menurut Hadiz, ia merupakan pemain penting dalam politik lokal dan sebelumnya menduduki posisi paling bawah dalam jaringan patronase Orde Baru.

Kini, dalam negara demokrasi, mereka melakukan reorganisasi dalam jaringan patronase baru yang terdesentralisasi dan lebih cair serta kompetitif satu sama lain. Bahkan kepentingan yang mereka perebutkan di tingkat lokal tampak lebih beragam.

Mereka adalah para pialang dan penjudi politik yang ambisius, birokrat negara yang cerdik dan predator, kelompok bisnis baru yang ambisius, serta berbagai geng politik, penjahat, dan aparat keamanan sipil.

Sementara kajian yang dilakukan oleh John T. Sidel bahwa harus ada hubungan berbanding lurus antara desentralisasi lokal dan demokrasi, yang simbolnya adalah berkembangnya kekuasaan lokal (local bossism).

Penelitian John T. Sidel menunjukkan bahwa tren tersebut berkaitan dengan perkembangan politik ketika pemilihan kepala daerah mulai dilaksanakan. Sidel berpendapat bahwa bosisme mencerminkan peran elit lokal sebagai broker politik predator dengan kontrol monopoli.

Ironisnya, orang-orang kuat lokal tidak hanya mengumpulkan kekuasaan melalui cara-cara ilegal. Selain melakukan demokratisasi, mereka juga mengeksploitasi institusi demokrasi yang sudah ada. Orang-orang kuat di tingkat lokal “membajak” lembaga-lembaga demokrasi dan membangun aliansi dengan pejabat publik baru.

Dengan kondisi kemenangan para pasangan calon tunggal tersebut bisa jadi nanti makin merebaknya local bossim dan para predataris dalam memimpin pemerintahan daerah. Jika ini yang terjadi maka masa depan demokrasi lokal semakin jauh dari substansi.

Demokrasi lokal lewat pilkada hanya bersifat prosedural, yang dalam prakteknya juga cacat dan mengalami distorsi dengan semakin maraknya pasangan calon tunggal dalam perhelatan pilkada.

Para partai politik dan/atau kaum oligarki memnfaatkan demokrasi sebagai kendaraan untuk berkuasa, yang pada gilirannya dalam rangka untuk menguasai resources, baik sumber daya politik maupun sumbedaya ekonomi dan sumberdaya alam.

Fenomena munculnya calon tunggal tersebut tentu saja menunjukkan sikap pragmatisme partai partai politik. Demi meraih kemenangan, mereka tidak mau kandidat mengusung kandidat yang elektabilitasnya kecil meski ia memiliki integritas dan kapasitas, melainkan mereka bersama-sama mengusung pasangan calon tunggal, meski cacat integritas dan kurang memiliki kapasitas.

Lebih dari itu, dengan mengajukan pasangan calon tunggal sesungguhnya menunjukkan bahwa partai-partai politik telah gagal melakukan kaderisasi dalam mencetak pemimpin-pemimpin di daerah.

Jika kita kaitkan dengan prinsip dasar demokrasi dan pemilihan umum itu sendiri, fenomena munculnya calon tunggal dalam pilkada langsung tentu sangat mencederai dan kontradiktif. Hakekat dari demokrasi dan pemilihan umum adalah partisipasi dan kontestasi.

Namun dengan adanya calon tunggal maka dua prinsip dasar tersebut tidak berjalan. Partisipasi hanya berjalan searah, hanya diarahkan untuk memilih calon tunggal.

Regulasi yang ada hanya mengatur bagi calon tunggal dan tidak ada regulasi untuk Kolom Kosong sehigga tidak sederajat. Begitu juga dengan kontestasi, tidak ada persaingan, tidak ada pertarungan gagasan, visi, misi, dan program.

Kampanye dan debat publik bersifat monoton karena hanya calon tungal saja yang melaksanakannya, begitu juga dengan bentuk-bentuk kampanye lainya hanya untuk pasangan calon tungal.

Baca Juga :  Prabowo Restui Rahmat Mirzani Djausal Cagub Lampung

KPU juga hanya memfasilitasi pasangan calon tunggal Calon Tunggal dan Suramnya Demokrasi Lokal ditengah kerisauan terhadap suram dan buramnya demokrasi local, Penulis menganalisis beberapa faktor terkait dengan fenomena pasangan calon tunggal pada pilkada serentak.

Pertama, keberadaan calon tunggal sebagai akibat dua pihak yang saling berkepentingan, yaitu petahana dan partai politik. Petahana berkepentingan untuk menjaga status quo, tetap berkuasa, dengan cara menjegal saingan lewat “borong partai”.

Sementara itu, partai partai berkepentingan untuk menang dan atau mendompleng petahana karena memiliki elektabilitas yang tinggi.

Kedua, partai gagal melakukan kaderisasi di satu pihak, dan di lain pihak telah terjadi krisis kepemimpinan di daerah.

Alih-alih sebagai bagian dari institusi sosial untuk menyiapkan calon-calon pemimpin, partai terkesan hanya digunakan untuk kepentingan hal-hal yang sifatnya pragmatis oleh para elitenya.

Partai politik mestinya malu dengan pilkada yang hanya menampilkan calon tunggal. Tetapi rupanya rasa malu itu dengan mudah bisa disingkirkan, karena ada kepentingan pragmatis tadi.

Ketiga, keberadaan calon tunggal tidak terlepas dari beratnya persyaratan untuk menjadi kandidat, baik melalui jalur partai politik maunpun jalur perseorangan (independen).

Ujung-ujungnya bagi yang ingin maju menjadi calon kepala daerah, mereka harus mengeluarkan biaya yang besar. Dengan kata lain, pilkada hanya disediakan bagi mereka yang punya dukungan dana besar.

Hal inilah antara lain yang menyebabkan orang-orang yang memiliki kredibilitas dan kapasitas sebagai calon pemimpin kepala dearah tidak memiliki kesempatan untuk ikut dalam kontestasi tersebut.

Keempat, pragmatisme partai politik. Partai politik melalui jalan pintas tidak mau mengusung calon lain karena takut kalah. Sebagai wujud pragmatisme mereka lalu bersama-sama mengusung calon tunggal yang sudah pasti menang.

Padahal tersebut mestinya tidak dilakukan karena sebagimana dikatakan oleh Syamsuddin Haris, “parpol memiliki waktu cukup luang untuk menyeleksi pasangan calon jauh-jauh hari sebelum batas waktu pendaftaran berakhir, hal itu tampaknya tidak dimanfaatkan oleh parpol”.

Tetapi sebaliknya parpol memilih jalan pintas, yakni mengusung kandidat yang memiliki elektabilitas tinggi sebagai calon kepala daerah. Kelima, terlalu besarnya nilai “mahar” yang diminta oleh para pengurus parpol kepada para kandidat yang berminat maju dalam pilkada.

Terlepas dari itu, untuk negara kita sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, yang memiliki jumlah partai relatif banyak, keberadaan calon tunggal pada pemilihan kepala daerah tentu menjadi hal yang ironis.

Demokrasi terasa hambar dan semu belaka, karena pemilihan tidak kompetitif. Sebab, hampir bisa dipastikan calon tunggal bakal keluar sebagai pemenang, tanpa harus “jerih-payah” dan “mengeluarkan keringat” dalam kampanye mati-matian.

Jika pun ada, boleh jadi itu hanya untuk memenuhi persyaratan formalitas yang sudah dianggarkan oleh Komisi Pemilihan Umum.

Namun demikian, lebih dari sekadar demokrasi yang menjadi hambar dan semu, keberadaan calon tunggal merupakan sebuah “tamparan” bagi partai politik yang tidak mampu menghadirkan kadernya dalam kontestasi seleksi kepemimpinan melalui pilkada.

Regulasi dan anggaran pun sepertinya menjadi “sia-sia” karena partai tidak mampu menjalankan salah satu fungsinya yang pokok ini.

Pendanaan yang tidak sedikit yang digunakan untuk membiayai pilkada menjadi mubazir karena tidak adanya kompetisi. Akibatnya, demokrasi tercederai dan legitimasi pilkada mejadi minus.

Penulis Ghraito Arip H. adalah Mahasiswa Hukum Administrasi Negara Universitas Lampung

Berita Terkait

Sisakan 1 Petahana dan 1 Perempuan, Berikut 14 Nama Calon Anggota KPU Lampung
Alot, Tarik Manarik Penetapan 14 Besar Calon Anggota KPU Lampung
Gerindra Pesawaran Dukung Penuh Nanda-Antonius, Cabut KTA Dadang
RMD Cup 2024:Turnamen Tenis Meja Sukses Bangkitkan Semangat Olahraga Lampung
Hengki Irawan Tekankan Pentingnya Netralitas Penyelenggara Pemilu di Pilkada 2024
Terpidana Perusakan Surat Suara Way Khilau Ditangkap, Dihukum 1 Tahun Denda 20 Juta
Bawaslu Pesawaran Tegaskan Pengawasan dan Netralitas di Pilkada 2024
Tenis Meja Beregu Lampung Sabet Medali Mas PON XXI Aceh-Sumut 2024
Berita ini 152 kali dibaca

Berita Terkait

Rabu, 18 September 2024 - 01:09 WIB

Sisakan 1 Petahana dan 1 Perempuan, Berikut 14 Nama Calon Anggota KPU Lampung

Selasa, 17 September 2024 - 21:21 WIB

Alot, Tarik Manarik Penetapan 14 Besar Calon Anggota KPU Lampung

Selasa, 17 September 2024 - 15:59 WIB

Gerindra Pesawaran Dukung Penuh Nanda-Antonius, Cabut KTA Dadang

Selasa, 17 September 2024 - 09:36 WIB

RMD Cup 2024:Turnamen Tenis Meja Sukses Bangkitkan Semangat Olahraga Lampung

Senin, 16 September 2024 - 14:03 WIB

Hengki Irawan Tekankan Pentingnya Netralitas Penyelenggara Pemilu di Pilkada 2024

Sabtu, 14 September 2024 - 14:07 WIB

Terpidana Perusakan Surat Suara Way Khilau Ditangkap, Dihukum 1 Tahun Denda 20 Juta

Sabtu, 14 September 2024 - 13:54 WIB

Bawaslu Pesawaran Tegaskan Pengawasan dan Netralitas di Pilkada 2024

Sabtu, 14 September 2024 - 11:07 WIB

Tenis Meja Beregu Lampung Sabet Medali Mas PON XXI Aceh-Sumut 2024

Berita Terbaru

Ketua Tim Pemenangan Rahmat Mirzani Djausal dan Jihan Nurlela, Bachtiar Basri. Foto : Wildanhanafi/berandalappung.com

Politik

Bachtiar Basri:Kebersamaan adalah Kunci Keberhasilan

Kamis, 19 Sep 2024 - 21:46 WIB

Ketua Partai NasDem Lampung tegaskan dukung Rmd-Jihan di Pilgub Lampung. Foto : Ist

Politik

Herman HN Pertegas Dukungan ke Mirza-Jihan

Kamis, 19 Sep 2024 - 18:06 WIB

Anggota KPU Kota Bandar Lampung Hamami. Foto : Wildanhanafi/berandalappung.com

Politik

KPU Bandar Lampung Pastikan Tidak Ada Calo Rekrutmen KPPS

Kamis, 19 Sep 2024 - 15:57 WIB