Budiyono, Intelektual Organik dari Lampung
berandalappung.com — Tanjung Karang, Menolak menara gading, menyalakan api kesadaran di tengah rakyat. Di tengah derasnya arus pragmatisme kampus dan komersialisasi pendidikan, Budiyono berdiri di jalur yang berbeda.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung itu menolak menjadikan ilmu sebagai komoditas akademik. Ia memilih detak jantung dengan denyut nadi rakyat yang menghidupkan teori dalam praktik sosial.
Bagi Budiyono, ruang kuliah bukanlah tempat meluasnya teori, melainkan arena perlawanan terhadap formalisme pengetahuan. Ia tidak sekadar mengajar hukum, tetapi mengungkap bagaimana hukum bekerja sebagai alat kekuasaan. Siswa diajak membaca pasal-pasal dengan mata kritis, bukan sekadar menghafal.
“Hukum tak lahir di atas kertas,” katanya di ruang diskusi fakultas. “Ia tumbuh dari pertarungan kepentingan.”
Kalimat itu menggambarkan dengan tepat wataknya pembeli yang menolak diam di menara gading. Ia lebih nyaman berada di lapangan, di tengah masyarakat yang terpinggirkan oleh sistem yang katanya adil tapi sering pincang.
Di Antara Rakyat dan Kekuasaan
Dalam kacamata Antonio Gramsci, setiap kelas sosial memerlukan intelektualnya sendiri yang berpikir sekaligus berjuang. Gramsci menyebut intelektual organik: orang yang memiliki pengetahuan dengan perjuangan sosial.
Budiyono menjelma menjadi sosok itu di Lampung. Ia tak berhenti pada kritik verbal. Ia turun ke lapangan, mendampingi warga yang digusur, buruh yang diabaikan, dan mahasiswa yang menolak ketimpangan. Ia tidak datang sebagai pengamat netral, tapi bagian dari perjuangan itu sendiri.
“Netralitas itu mitos,” katanya. “Pengetahuan selalu berpihak. Dan saya tahu di mana saya berdiri.”
Sikapnya membuatnya berbeda di tengah budaya akademik yang kian pragmatis. Ketika banyak dosen sibuk mengejar publikasi jurnal dan akreditasi kampus, Budiyono menambatkan reputasinya pada pekerjaan sosial yang konkret. Ia sedang mencari nama. Ia mencari makna.
Melawan Pasar Pengetahuan
Dalam banyak forum, Budiyono dikenal kritis terhadap neoliberalisasi pendidikan tinggi. Ia tidak menganggap kampus sebagai korporasi pengetahuan, tempat mahasiswa diperlakukan layaknya konsumen.
“Universitas seharusnya ruang publik kritis, bukan pabrik ijazah,” ungkapnya dalam satu forum diskusi.
Pandangan itu sejalan dengan gagasan kritis pedagogi Paulo Freire: pendidikan sebagai praksis kebebasan. Budiyono menerjemahkan ide itu dalam konteks lokal menjadikan pendidikan hukum sebagai alat emansipasi, bukan legitimasi kekuasaan.
Baginya, Tri Dharma Perguruan Tinggi bukan daftar tanggung jawab administratif, melainkan jalan perlawanan terhadap hegemoni pengetahuan. Penelitian dan pengabdian bukan untuk laporan akreditasi, tapi untuk mengembalikan makna ilmu kepada rakyat.
Api yang Tak Pernah Padam
Kini, di usianya yang ke 51 tahun, Budiyono masih menyalakan bara yang sama. Ia tetap mengajar, menulis, dan mendampingi masyarakat yang terpinggirkan. Ia hidup sederhana, tetapi pikirannya menjulang tinggi.
Ia tahu, perjuangan intelektual bukan soal pangkat akademik, tapi soal keberpihakan. “Ilmu tanpa keberpihakan adalah kesia-siaan,” katanya, suatu kali.
Di ruang kuliahnya, siswa belajar bahwa hukum bukan kumpulan pasal, tapi medan pertempuran moral. Di lapangan, masyarakat mengenalnya bukan sebagai “Pak Dosen”, tapi “kawan seperjuangan”.
Budiyono mungkin tak sering muncul di media nasional, tapi di Lampung, namanya hidup di antara cerita-cerita advokasi rakyat. Ia menjelma simbol dari apa yang disebut Gramsci sebagai hegemoni tandingan: perlawanan intelektual terhadap dominasi kekuasaan.
Ketika banyak ilmuwan sibuk membangun karir di atas kesunyian rakyat, Budiyono menumbuhkan ilmu di tengah penderitaan mereka. Ia membuktikan bahwa berpikir dan berjuang bukanlah dua dunia yang terpisah. Dalam dirinya, keduanya menyatu—dalam kesadaran bahwa pengetahuan sejati bukanlah yang menghiasi rak jurnal, tapi yang menyalakan kesadaran.
Dan dari Lampung, api kecil itu masih menyala. Tak padam, bahkan di tengah angin kekuasaan yang terus berubah arah.
Editor : Alex Buay Sako