Aliansi Lampung Geruduk Kejagung, Desak Tuntas Kasus Raksasa Gula SGC
berandalappung.com— Jakarta, derap langkah massa terdengar menggema di pelataran Kejaksaan Agung RI, Selasa pagi, 11 Juni 2025. Sekitar pukul 10.30 WIB, tiga aliansi masyarakat sipil asal Lampung. Akar Lampung, Pematank, dan Keramat datang tidak dengan basa-basi. Mereka datang dengan satu tujuan, mendesak Kejagung menuntaskan kasus yang mereka sebut sebagai “borok agraria” terbesar di provinsi Lampung, kasus Sugar Group Companies (SGC).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Puluhan massa membentangkan spanduk, mengangkat poster bertuliskan “Tangkap Elite SGC”, “Rampas Tanah Rakyat, Hukum Harus Tegak!”, hingga “SGC Bukan Negara Dalam Negara”. Di bawah terik matahari, mereka berorasi selama hampir tiga jam. Teriakan mereka bukan sekadar sorakan protes. Itu adalah bentuk keputusasaan masyarakat yang merasa puluhan tahun bersuara, namun tak pernah didengar.
“Kami sudah berkali-kali melaporkan dugaan pelanggaran hukum oleh SGC, tapi semua seperti ditelan birokrasi. Ke mana aparat penegak hukum selama ini?” ujar Indra Musta’in, Ketua DPP Akar Lampung, dengan suara bergetar menahan amarah. “Kami ingin Kejagung dan Kementerian ATR/BPN turun tangan langsung, menggeledah kantor pusat dan cabang SGC, serta menyita dokumen-dokumen penguasaan lahannya.”
Raksasa Tanpa Taring Hukum?
SGC bukan nama asing di Lampung. Perusahaan konglomerasi ini dikenal sebagai salah satu produsen gula terbesar di Indonesia. Namun di balik citra perusahaan besar, aktivis dan sejumlah masyarakat menuding SGC sebagai pihak yang diduga terlibat dalam penguasaan ribuan hektare lahan secara tidak sah, sebuah praktik yang diduga dilakukan secara sistematis selama bertahun-tahun.
Sejumlah laporan menyebutkan, banyak lahan yang awalnya merupakan tanah adat, atau bahkan kawasan hutan lindung, perlahan dikuasai oleh perusahaan melalui skema yang tak transparan. “Mereka seperti negara dalam negara. Tak tersentuh hukum. Bahkan kepala daerah pun banyak yang memilih diam,” ujar salah satu peserta aksi yang meminta identitasnya disamarkan.
Aliansi menduga ada pembiaran sistematis dari aparat negara terhadap ekspansi korporasi tersebut. Mereka menyebut praktik-praktik seperti intimidasi terhadap warga, tumpang tindih sertifikat lahan, dan pembiaran terhadap hak guna usaha (HGU) yang telah kedaluwarsa namun tetap dipakai.
“Ini bukan sekadar kasus agraria. Ini soal kedaulatan rakyat yang diinjak-injak,” kata M. Zainal dari Pematank. “Bagaimana mungkin satu perusahaan bisa begitu dominan, sementara warga lokal diusir dari tanahnya sendiri?”
Harapan di Era Baru Kekuasaan
Aksi ini tidak berdiri di ruang hampa politik. Masa transisi menuju pemerintahan baru Presiden terpilih Prabowo Subianto dijadikan momentum oleh para demonstran untuk mendorong agenda penegakan hukum yang lebih progresif.
“Harapan kami sederhana: jangan lagi hukum tunduk pada kekuatan modal,” tegas Indra Musta’in. “Kami yakin dengan kepemimpinan yang kuat, Kejagung bisa lebih berani menegakkan hukum. Jangan biarkan SGC menjadi simbol impunitas di tanah Lampung.”
Para pengunjuk rasa menyatakan bahwa aksi mereka akan berlanjut. Setelah Kejagung, massa akan bergerak menuju gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyerahkan dokumen tambahan yang menguatkan dugaan keterlibatan sejumlah pejabat dalam melindungi kepentingan SGC.
Desakan: Tetapkan Tersangka, Segel Aset
Dalam tuntutan resminya, tiga aliansi meminta Kejagung menetapkan petinggi SGC sebagai tersangka. Mereka juga mendesak penyitaan aset-aset perusahaan yang diduga berdiri di atas lahan bermasalah serta penghentian sementara operasional hingga kasusnya tuntas secara hukum.
Mereka juga menyerukan agar Presiden dan Menteri Agraria turun tangan langsung menyelesaikan konflik tanah yang selama ini dinilai tak berpihak pada rakyat kecil.
“Jika negara tak hadir, maka rakyat akan terus datang seperti hari ini, dan akan terus lebih besar lagi,” tutup Indra, sebelum kembali bergabung dengan kerumunan massa yang masih bertahan di depan gerbang Kejaksaan Agung.
Editor : Alex Buay Sako