AI Makin Canggih, Pekerja Makin Tergerus Siap-siap Tingkat Pengaguran Semakin Tinggi
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
berandalappung.com— Jakarta, perkembangan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) telah menciptakan lonjakan efisiensi dalam berbagai sektor. Namun, di sisi lain, kehadiran teknologi ini juga mengancam stabilitas pekerjaan jutaan tenaga kerja, termasuk di Indonesia. Para pekerja mulai dari ilustrator, pegawai administrasi, hingga jurnalis kini menghadapi kenyataan pahit: tergantikan oleh sistem otomatis.
Fenomena ini bukan sekadar teori. Di berbagai kota besar, gelombang disrupsi sudah terasa. Beberapa pekerja kreatif mulai kehilangan klien. Pekerja administratif menghadapi pengurangan jam kerja, bahkan pemutusan hubungan kerja. Secara perlahan tapi pasti, AI mulai menggantikan tenaga manusia di balik meja.
Dari Ilustrator ke Prompt Engineer
Di Bandung, Lina Meilina, seorang ilustrator lepas, mulai kehilangan banyak pesanan sejak awal tahun. Ia menyebut bahwa klien-klien lamanya kini beralih ke layanan gambar berbasis AI seperti Midjourney dan DALL-E. “Mereka bilang cukup mengetik deskripsi, hasilnya keluar dalam menit,” ujarnya.
Cerita serupa muncul dari beberapa editor lepas yang mulai “dipinjam” tenaganya untuk melatih model AI. Mereka kini bekerja sebagai trainer, bukan lagi sebagai penulis atau penyunting. Tugas mereka adalah memberi masukan agar AI bisa meniru gaya tulisan manusia.
Fenomena ini menunjukkan pergeseran peran: dari pekerja kreatif menjadi pelatih mesin. Dunia kerja manusia mulai masuk fase baru: menjadi operator dari sistem yang kelak bisa menggantikan mereka.
Dampak Nasional
Dalam skala yang lebih luas, data dari World Economic Forum (WEF) memproyeksikan bahwa sekitar 23 juta pekerjaan di Indonesia berpotensi tergeser oleh otomatisasi dan AI hingga 2030. Angka ini bukan spekulatif. Pemerintah Indonesia sendiri, melalui pidato Presiden Joko Widodo pada September 2024, menyatakan bahwa sekitar 50 juta pekerja kasar berisiko kehilangan mata pencaharian karena kemajuan teknologi.
Beberapa sektor paling terdampak adalah entri data, teller, sekretaris, dan kasir. Bahkan, sektor pendidikan pun tidak luput dari ancaman otomatisasi. Asisten pengajar, dosen, hingga penerjemah kini mulai digantikan perannya oleh sistem pembelajaran berbasis AI.
Ketimpangan Akses dan Keterampilan
Meski pemanfaatan AI di Indonesia terus meningkat, hanya sebagian kecil tenaga kerja yang memiliki keterampilan digital memadai. Survei Kementerian Kominfo menunjukkan hanya 30 persen pekerja yang menguasai keterampilan digital dasar. Ketimpangan ini diperparah dengan keterbatasan infrastruktur di daerah. Sekitar 40 persen wilayah Indonesia masih minim akses internet stabil.
Artinya, saat teknologi berkembang pesat di pusat kota dan perusahaan besar, sebagian besar pekerja di daerah justru tertinggal. Mereka tidak hanya kekurangan keterampilan, tetapi juga akses untuk mengejar ketertinggalan.
Langkah-langkah Penanganan
Sejumlah upaya mulai dilakukan. Pemerintah melalui program Kartu Prakerja dan Digital Talent Scholarship menggandeng sektor swasta untuk melatih ulang tenaga kerja. Microsoft Indonesia misalnya, menargetkan melatih 840.000 talenta digital dalam kurun waktu lima tahun ke depan.
Namun, pertanyaan besarnya tetap menggantung apakah pelatihan ini cukup untuk mengimbangi kecepatan perubahan yang dibawa AI?
Beberapa ekonom menyarankan perlunya kebijakan yang lebih menyeluruh. Selain pelatihan, dibutuhkan regulasi ketenagakerjaan baru, perlindungan sosial bagi pekerja terdampak, serta sistem edukasi yang adaptif terhadap perubahan teknologi.
Kecerdasan buatan membawa banyak manfaat. Namun, jika tidak diimbangi dengan perlindungan terhadap pekerja dan pemerataan keterampilan, maka teknologi ini bisa memperdalam ketimpangan sosial. Indonesia kini berada di persimpangan antara menjadi bangsa yang siap menghadapi disrupsi, atau menjadi korban dari revolusi teknologi yang tak terkendali.
Dalam situasi ini, peran negara menjadi kunci: bukan hanya sebagai fasilitator kemajuan, tetapi juga sebagai pelindung bagi rakyat yang terancam tertinggal.
Editor : Alex Buay Sako