“Euforia P3K, Derita di Balik SK, Lampung Wajib Antisipasi Gelombang Cerai”
berandalappung.com— Raja Basa, euforia pelantikan ribuan aparatur sipil negara (ASN) di berbagai daerah menyimpan paradoks yang mencemaskan. Di Kabupaten Cianjur, status sebagai abdi negara yang mestinya jadi berkah justru membuka babak baru krisis rumah tangga. Alih-alih menjadi tonggak kestabilan sosial, pelantikan justru menguak retaknya fondasi personal di balik seragam birokrasi.
Lebih dari 80 persen pemohon adalah perempuan. Sebagian besar bekerja di Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan dua institusi padat beban kerja dan tekanan pelayanan publik.
Dari SK Pengangkatan ke SK Cerai
Motif perceraian pun beragam: ketimpangan peran, perselingkuhan, judi online, sampai hubungan yang sejak lama pisah ranjang tapi baru kini diputus secara resmi. Dari total permohonan, 11 sudah mendapat SK izin cerai, dan sisanya masih dalam proses.
Lampung Wajib Waspada ASN Bukan Sekadar Administrasi
Fenomena ini mestinya jadi alarm bagi pemerintah daerah lain termasuk Lampung. Sebab, pada 30 Juli 2025,
Pemerintah Provinsi Lampung dijadwalkan menyerahkan SK pengangkatan kepada 5.469 PPPK berdasarkan SK Sekretaris Daerah Provinsi Lampung Nomor 800.1.2.5/3728/VI.04/2025.
Dr. Dedi Hermawan, M.Si. pengamat sosial dari Universitas Lampung, menilai apa yang terjadi di Cianjur bukan sekadar gejala insidental, melainkan fenomena sosiologis yang meluas.
“Kenaikan status ASN/PPPK membawa implikasi besar terhadap dinamika rumah tangga. Jika relasi suami-istri sejak awal sudah rapuh, maka pelantikan ASN bisa menjadi pemantik krisis,” ujar Dedi.
Menurutnya, banyak ASN/PPPK terutama perempuan yang mengalami lonjakan identitas sosial secara mendadak.
“Ketika pengakuan negara hadir lewat SK dan gaji bulanan, ada dorongan psikologis untuk mengambil alih kendali hidup. Jika pasangan tidak siap beradaptasi, konflik jadi tak terhindarkan.”
Namun ia menekankan, ini bukan sekadar soal emansipasi atau kemandirian. “Ini cerminan lemahnya ketahanan keluarga, rendahnya literasi peran gender, serta tidak adanya sistem dukungan psikososial dalam kebijakan kepegawaian daerah.”
Negara Harus Hadir Melampaui SK
Ironisnya, negara hanya hadir sebatas SK pengangkatan. Tidak ada ruang pendampingan, tidak ada pembekalan mental, dan tidak ada kesadaran bahwa ASN/PPPK adalah manusia dengan kompleksitas relasi personal yang memengaruhi kinerja mereka sebagai pelayan publik.
“Ini harus dilihat sebagai persoalan publik, bukan urusan domestik belaka. Pemerintah daerah harus punya skema pencegahan dari pelatihan penguatan keluarga, konseling psikologis, hingga pengaturan beban kerja yang manusiawi,” tambah Dedi Hermawan.
Ia juga mengingatkan bahwa teknologi termasuk media sosial dan aplikasi pinjaman daring ikut menyumbang disorientasi nilai di kalangan ASN/PPPK muda. “Kalau pemerintah tidak cepat membaca gejala ini, kita akan kehilangan kualitas ASN bukan karena korupsi, tapi karena hancurnya struktur sosial dasar: keluarga.”
Krisis yang Sunyi dan Terabaikan
Fenomena cerai massal di kalangan ASN/PPPK ini adalah krisis sunyi yang selama ini luput dari radar birokrasi. Di balik angka-angka pelantikan dan grafik kinerja, tersembunyi cerita tentang perempuan yang memilih keluar dari rumah tangga yang tak lagi sehat. Ini bukan soal moralitas, tapi soal kegagalan sistem membaca manusia di balik mesin birokrasi.
Negara, dalam hal ini Pemda, tidak cukup hanya mengangkat dan menggaji. Mereka punya tanggung jawab untuk memastikan bahwa ASN/PPPK adalah individu utuh yang stabil secara emosional, sosial, dan spiritual. Karena tanpa itu semua, jangan harap pelayanan publik bisa berjalan dengan penuh integritas.
Pelantikan ASN semestinya menjadi pintu masuk peradaban baru, bukan awal dari keretakan sosial yang membusuk dalam diam.
Editor : Alex Buay Sako