Kursi, Konflik, dan Kosmetik: 100 Hari Pemerintahan Ardito Wijaya yang Gagal Menyentuh Rakyat
Oleh Rosim Nyerupa
Ketua Puskada Lampung Tengah
berandalappung.com— Gunung Sugih, Seratus hari pertama pemerintahan adalah jendela awal: dari situlah rakyat mulai mengukur arah, niat, dan watak seorang pemimpin. Bukan waktu yang cukup panjang untuk membangun segalanya, tapi cukup untuk menunjukkan kemauan, keberanian, dan visi.
Sayangnya, bagi Bupati Lampung Tengah dr. Ardito Wijaya, jendela itu tidak menampilkan pemandangan harapan. Yang tersaji justru panggung kosmetik kekuasaan: penuh seremoni, miskin substansi.
Alih-alih membangun pondasi kuat untuk 30 janji kampanye yang sempat memukau rakyat, 100 hari pertama justru dipenuhi simbolisme yang nyaris tanpa isi. Kegiatan bersih-bersih taman kota dan peluncuran program mengajar PAKEM hanyalah potret estetika kekuasaan, bukan pernyataan politik yang berani.
Ya, program Ardito-Koheri Mengajar patut diapresiasi sebagai langkah humanis. Tapi hingga kini belum terlihat transformasi nyata dari sektor pendidikan. Tak ada peta jalan reformasi sekolah, tak ada kebijakan peningkatan kualitas guru, apalagi digitalisasi pembelajaran yang relevan di era ini.
Pembangunan infrastruktur pun belum menunjukkan geliat berarti. Islamic Center memang mulai disentuh, tetapi jalan-jalan desa tetap rusak, dan janji Rp 400 miliar per tahun untuk perbaikan infrastruktur masih sebatas retorika. APBD Lampung Tengah yang defisit, tanpa strategi keuangan alternatif, membuat janji itu lebih mirip harapan kosong.
Kehadiran kepala daerah tak hanya dituntut di taman-taman kota, tapi juga di lorong-lorong sempit di mana rakyat menjerit. Dan di titik ini, Ardito absen.
Dalam waktu yang nyaris bersamaan dengan gerak lambat pembangunan, dua konflik sosial meledak: satu di Gunung Agung, satu lagi di Anak Tuha. Keduanya bukan konflik dadakan. Mereka adalah api yang tumbuh dari bara ketidakadilan sosial dan pengabaian struktural.
Konflik berdarah di Gunung Agung yang menewaskan warga karena kisruh bansos, serta aksi massa di Anak Tuha soal sengketa lahan HGU PT. BSA, adalah peringatan keras: ketika suara rakyat diabaikan, yang datang bukanlah diam, melainkan amarah.
Yang paling menyakitkan, Bupati justru tak tampak sebagai pemadam api, melainkan seolah hanya penonton dari kejauhan.
Bahkan, ironi lain datang dari dalam rumah pemerintahannya sendiri. Kebijakan pemotongan insentif aparatur kampung dan linmas, dengan dalih membayar gaji RT. Dengan cara mengirim pesan keliru kepada para abdi negara di lapisan terbawah, bahwa loyalitas mereka tak lagi dihargai.
Alih-alih membangkitkan semangat kolektif, Ardito justru memupus harapan para perangkat kampung yang selama ini menjadi ujung tombak pelayanan publik. Sementara itu, janji-janji indah seperti insentif guru ngaji dan marbot masjid masih jauh dari realisasi.
Tapi masalah tak berhenti di situ. Di kalangan ASN, isu jual beli jabatan mulai menjadi bisik-bisik yang makin nyaring. Tidak ada pernyataan tegas dari Bupati untuk membantah atau menolak praktik itu. Diamnya seorang pemimpin saat isu semacam ini merebak, hanya mempertegas kegamangan dalam tata kelola birokrasi.
Puncaknya adalah isu seputar seleksi Sekda. Beredar kuat kabar bahwa dua kerabat dekat—kakak-adik dari ipar Bupati sedang disiapkan untuk mengisi posisi strategis. Jika ini benar, maka bukan hanya meritokrasi yang dikorbankan, tapi juga kepercayaan publik.
Negara tidak boleh dikelola seperti warisan keluarga. Pemerintah bukan perusahaan keluarga. Dan birokrasi bukanlah alat akomodasi politik dinasti.
Dalam kerangka tata kelola yang baik (good governance), transparansi dan akuntabilitas bukan pilihan, tapi keharusan. Sejauh ini, dua kata itu belum menemukan tempat dalam gaya kepemimpinan Ardito. Pemerintah daerah tampak lebih sibuk mengatur kursi, menata taman, dan menyusun seremoni, ketimbang menjawab teriakan rakyat.
Jika satu kalimat harus merangkum semua: 100 hari pemerintahan Ardito Wijaya adalah cermin suram tentang kuasa yang tersesat dalam kosmetika, dan lupa pada isi. Tak ada arah pembangunan yang jelas, tak ada solusi konkret atas konflik, tak ada keberanian menantang patronase birokrasi.
Dan ketika rakyat hanya mendapat janji, simbol, serta konflik yang tak ditangani, yang muncul bukan sekadar kekecewaan, tapi delegitimasi yang makin dalam.
Editor : Alex Buay Sako