Unila Dalam Pusaran Politik dan Kekuasaan

Avatar photo

- Jurnalis

Jumat, 2 Agustus 2024 - 13:49 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Gedung Rektorat Universitas Lampung. Foto : Ist

Gedung Rektorat Universitas Lampung. Foto : Ist

Bandar Lampung (berandalappung.com) – Unila sebagai kampus telah lama diakui sebagai tempat berkembangnya gagasan, wacana, dan pemikiran kritis. Selain menjadi pusat pendidikan, kampus pun merupakan panggung bagi berbagai perdebatan dan diskusi mengenai isu-isu penting dengan pendekatan akal sehat yang terjadi ditengah-tengah masyarakat.

Dalam hal ini, “akal sehat” merujuk pada pendekatan rasional, argumentatif, dan berdasarkan fakta yang mampu memicu pemikiran kritis serta mendukung audiens dalam mengambil keputusan informatif.

Pengakuan itu kian tergerus kini ketakutan penulis akan sebuah kisah dan makna dalam film ”Oppenheimer” menggambarkan betapa bahaya jika seorang ilmuwan beserta hasil karyanya dikooptasi kekuasaan kian tercium dalam dalam praktik yang diduga tukar tambah politik beberapa ilmuwan yang didambakan sebagai mentor intelektual para mahasiswa di kampus.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Membongkar Tukar Tambah Politik Kekuasaan Unila sebagai kampus idaman bagi sebagian pelajar di Provinsi Lampung juga tak luput dalam hal yang dianggap sebagai tukar tambah politik dengan para politisi maupun pemangku kekuasaan, anggapan itu bukan tanpa landasan.

Karena praktik tersebut sangat mudah dibaca dengan mata telanjang. Mulai dari pemberian gelar doctor honoris causa terhadap politisi dan kepala daerah yang menurut pasal 35 statuta Unila memiliki jasa-jasa luar biasa terhadap berbagai bidang akademis maupun sosial kemasyarakatan.

Pemberian doctor gelar honoris causa terhadap Gubernur Lampung saat itu Unila mengklaim bahwa itu karena karyanya yang dinilai luar biasa dalam menemukan menciptakan dan mewujudkan Pembangunan Lampung dengan Program Kartu Petani Berjaya (KPB).

Penulis sungguh merasa miris ketika Tim Penilai yang di bentuk oleh Sang Rektor Unila yang berisi para Ilmuwan dan Begawan akademik yang bertugas melakukan evaluasi terhadap karya karya luar biasa yang diajukan calon penerima gelar kehormatan tersebut menyatakan layak/lulus.

Ini semua tentu bertolak belakang denga napa yang terjadi dan nampak dalam film documenter yang di rilis Konsentris.id berjudul “tandur” yang menggambarkan kondisi petani dan betapa mirisnya keberlangsungan KPB sebagai program untuk kesejahteraan petani yang ada keterpurukan petani yang ada di Lampung.

Bahkan, tak sedikit petani yang merasa memiliki Kartu Petani Berjaya. Ini seolah menjadi alasan utama pemberian gelar doctor kehormatan tersebut. Bila kita ingat bersama, ternyata beberapa waktu sebelum pemberian gelar kehormatan tersebut Rektor Unila baru saja serah terima hibah tanah Provinsi Lampung seluas 150 hektare di Kota Baru.

Lalu sebenarnya jasa luar biasa apa yang sebenarnya membuat Kampus hijau yang berisi para ilmuwan ini dengan mudah memberikan gelar kehormatan terhadap Gubernur Lampung.

Apakah karena hibah tanah 150 hektare atau program KPB yang keberadaan dan manfaatnya sulit terdeteksi itu? Tak hanya kepada kepala daerah Provinsi Lampung, Gelar Kehormatan kedua juga diberikan terhadap politikus yang juga mantan Walikota Bandar Lampung.

Alasan yang diberikan oleh Universitas Lampung melalui website resminya tidak terlihat jasa-jasa luar biasa sang politikus terhadap berbagai bidang kehidupan yang ada di masyarakat.

Namun ternyata, bila kita lihat beberapa bulan sebelumnya ternyata istri dari politikus tersebut menjanjikan bantuan Pembangunan RSPTN sebanyak 50 Miliar dan Pembangunan di Fakultas Hukum Unila.

Bagi penulis, wajar ketika banyak mahasiswa dan beberapa tokoh menganggap pemberian dua gelar doctor kehormatan tersebut merupakan tukar tambah politik rektor terhadap berbagai jasa-jasa yang dianggap luar biasa.

Padahal, kampus sebagai tempat berhimpunnya para Ilmuwan mestinya menyadari bahwa elemen-elemen negara mesti aktif berpartisipasi dalam melaksanakan kewajibannya yang tertuang dalam UUD NRI 1945.

Baca Juga :  Kebakaran Hutan, Dan Lahan Di Indonesia

Bahwa apa yang dilakukan pemerintah terhadap aspek kehidupan masyarakat mesti dipahami sebagai kewajiban bukan sebagai hal yang tampak luar biasa. Bila dugaan dugaan diatas itu adalah benar, maka ini sebagai landasan untuk menyatakan bobrok dan takluknya Unila oleh politikus dan kekuasaan.

Ke Mana Para Ilmuwan Unila Universitas adalah kekuatan moral, tempat produksi dan reproduksi ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh para ilmuwan.

Universitas adalah “rumah”, bagi para ilmuwan untuk mempertimbangkan masa depan umat manusia, yang akan sangat bergantung pada perkembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi.

Pemikiran-pemikiran para ilmuwan inilah yang sejatinya dinilai khalayak sebagai independensi kalangan akademis yang tentu punya perspektif progresif dalam proses kemajuan bangsa.

Tulisan ini ditujukan buat para Ilmuwan dan pemimpin Universitas yang tampak denial dengan kondisi negara yang sedang mengalami degradasi moral, pemberian gelar kehormatan yang ugal-ugalan, rontoknya situasi hukum dan niretika dalam praktik-praktik politik dan kekuasaan.

Kampus yang semestinya menjadi pendidik manusia yang susila dan demokratis tentu mesti menitik beratkan pada proses Pendidikan karakter yang pangkalnya ialah cinta kebeneran dan berani mengatakan salah dalam menghadapi sesuatu yang tidak benar.

Pada nyatanya, hanya segelintir ilmuwan yang mau dan berani menyatakan itu semua dalam sebuah deklarasi. Pertanyaannya, ke mana para pemimpin Unila?

Akademisi yang sehari-hari berada di kampus memberikan berbagai macam pengetahuan di tataran teori yang ideal tampaknya hanya mampu bersuara di dalam ruang kelas. Ada yang bersuara ke public? ya sebagian memang ada Ilmuwan yang mampu memberikan nalar kritis melalui pernyataannya di public.

Akan tetapi, bila ditelusuri sang ilmuwan cendurung dan tampak terlihat partisan. Bagi penulis, apabila kampus dan para ilmuwan sudah mulai terkooptasi oleh politikus dan kekuasaan itu tandanya bahwa Pimpinan Universitas tak lagi mampu membangun barrier yang kokoh terhadap ilmuwan yang hari ini cenderung bersifat pragmatis dan tidak tegak lurus terhdap nilai nilai kebenaran.

Jubah ilmuwan yang dikenakan para akademisi kerapkali digunakan hanya untuk tukar tambah kepentingan politikus dan kekuasaan. Bila diamati secara seksama bahwa para Ilmuwan partisan di kampus hijau yang sering berseteru di media massa sederhananya di bagi dua kelompok.

 

Di satu sisi adalah para ilmuwan yang selalu mengkomentari kinerja Gubernur Provinsi Lampung dan Walikota Bandar Lampung.

Para ilmuwan yang tergabung dalam gerbong-gerbong tersebut tampak tak objektif melihat persoalan yang ada. Penulis memberikatan contoh kejadian yang mungkin kitab isa berdebat banyak soal hal ini.

Bahwa pada saat pemberian gelar kehormatan secara ugal ugalan terhdap dua Politisi yang merupakan bagian representasi dari kekuasaan Provinsi Lampung dan Kota Bandar Lampung.

Kemana para ilmuwan yang sering koar-koar itu? Penulis menduga mereka sama sama diam karena sang bos telah dapat bagian dari gelar kehormatan yang diberikan secara politis tersebut.

Masuknya para akademisi dalam politik elektoral bukan hal yang baru di Indonesia; baik sebagai penasihat kandidat kepala daerah, tim kampanye bayangan, hingga membantu dalam pemerintahan setelah kandidat terpilih. Namun, bagaimana dampaknya jika para akademisi tersebut tidak mendeklarasikan afiliasi politiknya ke publik?

Pertanyaannya apakah di Universitas Lampung ada? Tentu saja ada, dari pengelompokan sederhana yang ditulis di atas banyak para akademisi yang menikmati kursi ligna bak duduk yang lupa berdiri di kekuasaan Kota Bandar Lampung maupun di

Provinsi Lampung. Mulai dari, Komisaris BUMD, Tenaga Ahli maupun konsultan pribadi para kandidat yang telah menang dalam pemilihan kepala daerah.

Baca Juga :  Peringati 28 Tahun Kuda Tuli, Pro Mega Lampung Bangkitkan Semangat Perjuangan Hadapi Pilkada 2024

Pertanyaannya apakah mereka mendeklarasikan afiliasi politiknya ke publik dan pimpinan kampus? Atau hanya sembunyi di balik jubah Ilmuwan yang dikenakannya?

Unila Bukan Panggung Politikus

Ketika perguruan tinggi terlalu terjun dalam politik maka dikhawatirkan netralitas dan independensinya akan terganggu sehingga akan berimplikasi pada kepercayaan masyarakat yang akan makin berkurang, serta kredibilitasnya akan dipertaruhkan.

Apalagi ketika perguruan tinggi mendukung partai yang kerap melakukan tindakan penyalahgunaan kekuasaan, misalnya korupsi, menindas rakyat, ingkar janji, dan lain sebagainya.

Pada periode Rektor dengan slogan “Be Strong” ini banyak para pejabat dan politikus kerap kali masuk kampus untuk membranding diri dengan agenda yang dibungkus sebagai Diskusi publik, Seminar maupun Kuliah umum.

Mulai dari anggota DPRD, Bupati bahkan beberapa Menteri datang beberapa waktu menjelang pemilu 2024.

Kini ke khawatiran penulis kembali muncul disaat momentum menjelang pilkada serentak 2024 dan Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB).

Kepada siapa kah kampus akan memberikan panggung-panggung kampus terhadap politikus?

Sebenarnya, penulis tidak mempermasalahkan politikus datang ke kampus. Justru kedatangannya kadang kala menjadi privilege bagi mahasiswa aktivis untuk

Sekaligus menyampaikan aspirasi dan keresahan. Namun, menjadi masalah ketika politikus yang diundang melakukan kampanye di saat waktunya belum tiba, apalagi dengan menggunakan berbagai macam atribut atau identitas semiotic yang mudah dipahami mahasiswa.

Pada kenyataannya, politikus yang hadir di kampus cenderung enggan menampung dan memperjuangkan saran-saran dari para mahasiswa, lain dari pada itu kemampuan berdialektika para politikus sungguh diragukan karena dialog interaktif atau Upaya membongkar gagasan sang politikus tak diberi ruang lebar dalam setiap agenda kampus.

Bahkan, seorang calon kepala daerah yang diduga tampak didukung oleh sang rektor dengan kerapkali saling menghadiri kegiatannya dan tampak romantic pada setiap pertemuan dan aktivitas jalan sehat.

Simbol-simbol semacam ini sebenarnya mudah dibaca oleh masyarakat dengan penggambaran sang kandidat seolah peduli akan peduli dan dekat dengan dunia Pendidikan.

Bagaimana Seharusnya Kita?

Unila sebagai Perguruan Tinggi dengan kultur akademis jika ingin benar-benar menghadirkan politikus, seyogianya perlu mengusung konsep acara secara terbuka dan terang-terangan bagi seluruh masyarakat kampus.

Serta ditunjang dengan memprioritaskan etika akademik, sehingga diskursus yang terbangun akan berbobot dan tidak hanya berorientasi pada indoktrinasi kemenangan saja.

Karena jalannya kampanye, pasti selalu diselimuti oleh unsur-unsur kebencian, SARA, tindakan tidak etis, dan janji-janji manis untuk meraup suara dan pujian.

Dengan mengusung diskursus secara terbuka, kalangan akademik punya kesempatan berdialog dan mengupas gagasan dari politikus. Ketika dialektika forum yang terjadi adalah menguji ide dan pikiran, narasi yang dilontarkan oleh politikus tidak akan sama dengan kampanye di pesta-pesta rakyat.

Dengan begitu, kualitas politikus bisa dinilai dan kampus sejatinya sudah berkontribusi nyata dalam arena politik tanpa terjebak pada pandangan publik sebagai basis kawan (suara) dari partai politik.

Bukan hanya itu, membuka ruang bagi politikus untuk masuk kampus harus senantiasa ditunjang dengan regulasi yang ketat dan rigid.

Misalnya, menjamin kampus yang mengundang tidak memiliki kepentingan dengan politikus dan memberhentikan praktik tukar tambah kepentingan dalam setiap kerja-kerja pendidikan.

Selanjutnya, memastikan bahwa tidak ada civitas akademika yang menjadi anggota partai politik ataupun tim sukses politikus. Kampus harus menjaga independensi dan dipastikan steril dari keberpihakan.

Penulis Ghraito Arip H. Adalah Mahasiswa Hukum Administrasi Negara Universitas Lampung (Unila). 

Berita Terkait

Sisakan 1 Petahana dan 1 Perempuan, Berikut 14 Nama Calon Anggota KPU Lampung
Alot, Tarik Manarik Penetapan 14 Besar Calon Anggota KPU Lampung
Gerindra Pesawaran Dukung Penuh Nanda-Antonius, Cabut KTA Dadang
RMD Cup 2024:Turnamen Tenis Meja Sukses Bangkitkan Semangat Olahraga Lampung
Hengki Irawan Tekankan Pentingnya Netralitas Penyelenggara Pemilu di Pilkada 2024
Terpidana Perusakan Surat Suara Way Khilau Ditangkap, Dihukum 1 Tahun Denda 20 Juta
Bawaslu Pesawaran Tegaskan Pengawasan dan Netralitas di Pilkada 2024
Tenis Meja Beregu Lampung Sabet Medali Mas PON XXI Aceh-Sumut 2024
Berita ini 38 kali dibaca

Berita Terkait

Rabu, 18 September 2024 - 01:09 WIB

Sisakan 1 Petahana dan 1 Perempuan, Berikut 14 Nama Calon Anggota KPU Lampung

Selasa, 17 September 2024 - 21:21 WIB

Alot, Tarik Manarik Penetapan 14 Besar Calon Anggota KPU Lampung

Selasa, 17 September 2024 - 15:59 WIB

Gerindra Pesawaran Dukung Penuh Nanda-Antonius, Cabut KTA Dadang

Selasa, 17 September 2024 - 09:36 WIB

RMD Cup 2024:Turnamen Tenis Meja Sukses Bangkitkan Semangat Olahraga Lampung

Senin, 16 September 2024 - 14:03 WIB

Hengki Irawan Tekankan Pentingnya Netralitas Penyelenggara Pemilu di Pilkada 2024

Sabtu, 14 September 2024 - 14:07 WIB

Terpidana Perusakan Surat Suara Way Khilau Ditangkap, Dihukum 1 Tahun Denda 20 Juta

Sabtu, 14 September 2024 - 13:54 WIB

Bawaslu Pesawaran Tegaskan Pengawasan dan Netralitas di Pilkada 2024

Sabtu, 14 September 2024 - 11:07 WIB

Tenis Meja Beregu Lampung Sabet Medali Mas PON XXI Aceh-Sumut 2024

Berita Terbaru

Ketua Tim Pemenangan Rahmat Mirzani Djausal dan Jihan Nurlela, Bachtiar Basri. Foto : Wildanhanafi/berandalappung.com

Politik

Bachtiar Basri:Kebersamaan adalah Kunci Keberhasilan

Kamis, 19 Sep 2024 - 21:46 WIB

Ketua Partai NasDem Lampung tegaskan dukung Rmd-Jihan di Pilgub Lampung. Foto : Ist

Politik

Herman HN Pertegas Dukungan ke Mirza-Jihan

Kamis, 19 Sep 2024 - 18:06 WIB

Anggota KPU Kota Bandar Lampung Hamami. Foto : Wildanhanafi/berandalappung.com

Politik

KPU Bandar Lampung Pastikan Tidak Ada Calo Rekrutmen KPPS

Kamis, 19 Sep 2024 - 15:57 WIB