“Pelantikan Sekda Lamteng, Sandiwara Dinasti di Panggung Birokrasi”
berandalappung.com— Gunungsugih, 10 Juni 2025. Di tengah sorotan publik atas pentingnya reformasi birokrasi, Kabupaten Lampung Tengah justru menampilkan sebuah ironi pahit: pelantikan Sekretaris Daerah (Sekda) yang sarat kontroversi dan tudingan nepotisme.
Selasa siang, pukul 13.00 WIB, di Balai Sesat Agung Nuwo Balak, tempat yang dulunya menjadi simbol pemersatu adat berubah menjadi panggung politik kekeluargaan. Di sanalah Bupati Ardito Wijaya melantik Welly Adiwantra sebagai Sekda definitif. Yang menjadi soal, Welly adalah adik ipar sang bupati.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Tak pelak, pelantikan ini menuai kritik tajam dari berbagai kalangan, salah satunya dari Rosim Nyerupa, Pemerhati Politik dan Pemerintahan Daerah. Dalam pernyataan tertulisnya yang diterima redaksi, Rosim menyebut peristiwa ini sebagai “Ritual Kekuasaan” yang menandai peresmian dinasti dalam birokrasi lokal.
“Ini bukan sekadar pelantikan pejabat, ini pewarisan kekuasaan. Bupati bukan lagi kepala daerah, tapi raja lokal. Sekda bukan pejabat profesional, tapi panglima istana,” tulis Rosim dengan nada getir.
Rosim menyebut proses seleksi jabatan Sekda yang dilalui Welly sebagai “sandiwara seleksi terbuka”, yang sejak awal dinilai sarat rekayasa. Menurutnya, publik sudah bisa menebak arah permainan kekuasaan begitu nama-nama calon mulai bermunculan.
“Yang terjadi hari ini bukan hasil seleksi objektif. Ini keputusan politik yang ditentukan di ruang makan keluarga, bukan ruang sidang pansel,” katanya.
Lebih jauh, Rosim menyoroti hilangnya semangat reformasi birokrasi di bawah kepemimpinan Ardito Wijaya. Ia menyebut sejak awal menjabat, Ardito tak menunjukkan komitmen terhadap prinsip-prinsip pemerintahan bersih dan good governance.
“Ironis, Isu jual beli jabatan berhembus kencang, tapi tak pernah dibantah secara tegas di forum-forum resmi. Bupati lebih memilih diam, dan sekarang malah menjadikan adiknya sebagai panglima birokrasi,” tegasnya.
Bagi Rosim, pelantikan Welly adalah puncak dari rangkaian pembusukan birokrasi yang dilakukan secara sistematis. Sumpah jabatan, katanya, bukan lagi janji kepada negara, tapi sekadar pengesahan atas relasi darah dalam struktur pemerintahan.
“Kita sedang menyaksikan lahirnya kerajaan kecil di tengah demokrasi lokal. Ini bukan soal suka atau tidak suka, ini soal etika publik dan penghinaan terhadap profesionalisme ASN,” pungkasnya.
Dalam konteks otonomi daerah, kewenangan kepala daerah memang besar. Tapi publik pun tak bisa dilarang untuk mengawasi, mengkritik, bahkan mencurigai jika keputusan-keputusan birokrasi mulai berbau nepotisme.
Karena jika birokrasi hanya jadi perpanjangan tangan keluarga, maka jangan heran jika yang tumbuh bukan pelayanan publik, melainkan dinasti. Dan dinasti, seperti sejarah berkali-kali mengajarkan kita, tak pernah lahir dari demokrasi, melainkan dari kekuasaan yang ingin kekal di satu meja makan.
Editor : Alex Buay Sako