Detti Febrina namanya. Cukup dikenal sebagai penceramah keagamaan, tapi menolak disebut ustadjah. Usianya sudah lewat kepala empat. Jelas tak bisa dibilang muda lagi. Tapi kalau lihat aktivitasnya di sosial media, anak gaul pun bisa dibuat minder.
Detti yang akrab disapa Budet ini, mengaku menaruh perhatian besar terhadap literasi digital. Selain sebagai ibu rumah tangga, dia aktif meneliti media di Lampung. Juga serius sebagai content creator di media sosial. Budet kerap memposting tulisan berupa parenting, kesehatan mental, cerdas bermedia dan dakwah.
Pergumulan Budet dengan dunia digital dimulai sejak 2010 silam. Ketia itu dia membuat komunitas “Jangan Telan Media Bulat-bulat” di Facebook (Fb).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kalo literasi digital sudah dari dulu. Sejak sosmed baru ada Fb. Sempat bareng kawan-kawan juga bikin komunitas di Fb. Kalo dulu IG cenderung cuma jadi tempat share foto,” ujarnya kepada Grafiti.id, Kamis (14/10/2021).
Sayangnya, komunitas tersebut tak berumur panjang. Semenjak itu Budet beralih menggarap konten digital di media sosial pribadinya @dettife di Instagram.
“Sosmed itu kan realitas dunia saat ini dan akan datang. Sebagai bagian dari sarana komunikasi kekinian. Saya kira siapa pun komunikator perlu paham literasi digital,” ucap alumni Fakultas Pertanian (Unila) ini.
Selain mengisi konten di Instagram pribadinya, Budet juga aktif di komunitas pegiat literasi digital “Internet Cerdas”. Komunitas ini giat menyonyialisasikan manfaat internet bagi masyarakat.
Saat disinggung apakah ada nilai bisnis dari aktivitasnya di sosmed, seperti yang dilakukan selebram pada umumnya, dengan lugas Budet menampik. “Nggak ada keuntungan sepeser pun,” ungkapnya.
Baginya mendapatkan engagement dari masing-masing kontennya, itu sudah menjadi pencapaian tersendiri. Engagement instagram bisa dilihat dan diukur dari interaksi di akun Instagram berupa likes, comment, share, views, dan repost.
Selama menggeluti bidang ini, Budet memiliki banyak kesan. Salah satunya ketika kontennya kerap ‘diambil’ oleh content creator lain. Bahkan watermark konten miliknya dihapus sehingga tidak menunjukkan pemilik konten sebelumnya.
“Watermark nama kita di-crope, atau nge-share tanpa nge-tag. Terus ada yang mention saya di kolom komen akun itu. Tapi biar aja deh diambil. Bagi saya itu tandanya kontennya dianggap bermanfaat,” tutur Budet.
Kendati ada beragam kendala dan tantangan, namun dia berpesan, sudah saatnya semua kalangan menyadari arti penting literasi digital.
Terkait literasi, imbuhnya, sesungguhnya telah terjadi lompatan kultur di Indonesia.
“Hari ini tetiba kita semua sudah berada di era media sosial. Padahal, budaya membacanya belum kokoh. Dengan begitu, masih banyak tugas literasi digital yang mesti lebih diangkat ke permukaan. Mulai dari literasi digital anak, literasi digital remaja, literasi digital guru, dan masih banyak lainnya,” pungkas Budet.
EDITOR: MITHA